Part 41.2.

10.1K 1K 178
                                    

Kakak nggak jujur kan? Kakak ketemuan sama Mbak Pipit di kafe, kan? Aku ngerti kok, Kak.

***

Kaaann kaaann kaannn....
Blaik kamu, Iq!

Notes:
* ada sedikit joke dewasanya, harap dimaklumi atau di-skip saja yaa

*Thank you

-------

Masih berusaha bersikap biasa, Iqbal hanya menganggukkan kepala ketika ia dan Pak Andreas akan berpisah dengan Pipit di depan pintu kamar yang saling bersebelahan.

"Bukan teman biasa ya?"

Baru juga menaruh badan di single bed bagiannya, Iqbal sudah harus menerima pertanyaan berat dari Pak Andreas.

"Eh, emm, kelihatan ya, Pak?"

"Ya, kurang lebih begitu."

"Emm, kalau kita langsung pulang saja bagaimana, Pak?" Satu hal yang sejak sebelum berangkat sudah menjadi keinginan Iqbal, akhirnya terucap juga.

"Atau mungkin Pak Andreas mau pulang besok bareng sama Pak Nardi atau Mas Rega?" Disebutnya nama dua teman yang sama-sama mereka kenal dan berasal dari Semarang.

"Kenapa, Mas? Terganggu sama mbak yang di kamar sebelah ya?"

"Wah, suudzon betul Pak Andreas nih." Iqbal tertawa.

"Saya terganggunya sama yang ada di rumah, Pak. Kangen."

"Kalau begitu saya juga ikut pulang saja. Saya sendiri juga sebenarnya nggak terlalu suka menginap kalau jarak perjalanan masih terjangkau. Sayang, jadi kehilangan waktu sama keluarga. Cuma ini tadi kan saya numpang, mau ngajakin pulang kok ya gimana gitu, takutnya Mas Iqbal capek."

"Nggak apa-apa sih, Pak. Kalau energi insya Allah saya punya cadangan yang turah-turah (nyisa-nyisa/banyak.banget). Saya cuma mau menjaga perasaan istri saya. Nggak tega kalau dia tahu saya sebelahan sama mantan."

"Jadi bener ya, mbak yang tadi pernah istimewa."

"Ya gitu deh, Pak. Oke, berarti kita pulang ya, Pak. Saya mandi dulu, setelahnya langsung cuss aja, Pak."

Pak Andreas terbahak, "Nggak nyangka, laki-laki kayak Mas Iqbal ini takut istri juga."

"Iya, Pak. Saya memang takut kalau istri saya sedih atau marah gara-gara saya."

"Wah. Sudah langka ini yang macam begini. Tapi sebenarnya kalau Mas Iqbal diam saja kan juga istri nggak tahu, to?"

"Saya nggak bisa begitu, Pak. Saya sih lebih baik istri tahu sendiri dari saya dan sesegera mungkin. Daripada saya diam, eh ternyata ada yang lihat saya gak sengaja ketemu mantan, terus menyebarkan berita yang tidak benar ke istri saya. Mending dia tahu dari saya. Rame sebentar, habis itu kelar."

"Yes. Saya absolutely agree sama Mas Iqbal. Memang laki-laki itu ya harus begitu. Saya pun penganut prinsip yang sama. Bagaimanapun, keluarga adalah yang paling berharga buat saya."

Iqbal tersenyum, lalu beranjak ke kamar mandi.

Selepas maghrib Iqbal dan Pak Andreas meluncur kembali ke Semarang. Obrolan dimulai dengan topik seputar bidang mereka, lalu mulai beralih ke kehidupan pribadi Iqbal sebagai pengantin baru, tentu saja yang dibahas seputar pernikahan.

Rupanya topik awal hanya sebagai pengantar saja. Sisanya, hampir sepanjang perjalanan Iqbal harus pasrah diwawancarai oleh seniornya.

"Masih ada rasa sama mbaknya yang tadi?"

Mendadak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang