Buku

23 8 1
                                    

Fahri baru saja selesai memperkenalkan diri di depan anak-anak rohis. Beruntung, ia mengingat seluruh kata-kata perkenalan dan tujuan masuk rohis yang telah ia siapkan tadi malam. Sehingga, pertemuan pertamanya bersama anak rohis membuat kesan yang begitu baik. Terlebih bagi Sukainah, gadis itu sesekali tersenyum kecil ketika Fahri berbicara. Sukainah langsung menyadari bahwa ialah Fahri yang mengirimkan direct message padanya dua hari yang lalu.

Fahri duduk di sebelah Hamzah yang langsung menyalaminya.

"Keren pisan, Ri," kata Hamzah kagum kepada Fahri.

"Hehe biasa aja," rendah Fahri agar tidak terkesan membanggakan diri. Ia bersyukur karena persiapannya membuahkan hasil. Fahri memegang dada sebelah kirinya, jantungnya berdegup tak karuan. Senyum manis Sukainah di tempat duduknya ketika Fahri memperkenalkan diri berhasil membuatnya tak fokus saat ini.

Setelah selesai pertemuan ekskul rohis, Fahri terus menerus mendapatkan ucapan selamat datang, dan ia senang sekali karena disambut baik oleh kawan-kawan barunya.

"Ahlan wa sahlan, Fahri..  semoga kamu betah di sini," sambut Kak Hasbi, ketua umum rohis.

Fahri mengangguk malu. "Syukron, Kak.."

Kak Hasbi tersenyum ramah, "Sama-sama, Ri." Fahri mengira Kak Hasbi akan menjawabnya dengan bahasa Arab juga.

Kak Hasbi izin untuk menghampiri anggota yang lain, lalu Fahri mempersilahkan. Fahri pun menatap satu persatu kawan barunya. Mereka ada yang duduk-duduk santai di atas karpet masjid, merapihkan Al-Qur'an di rak, dan Hasbi yang tengah berdiskusi dengan anggotanya. Hasbi adalah seorang lelaki idaman. Ia begitu baik dan tampan, bahkan Fahri mengakui hal itu.

Fahri membayangkan dirinya menjadi Hasbi. Ia mungkin saja akan mencalonkan diri sebagai ketua rohis juga, untuk mengikuti jejak kakak kelas favoritnya itu. Fahri mengira pada saat kampanye Hasbi waktu itu, ia dipilih bukan hanya karena visi dan misi yang meyakinkan saja. Tetapi, wajah Hasbi sepertinya membantu saat pemilihan juga.

Fahri pun keluar masjid dan mencari Hamzah. Didapatinya Hamzah--lagi-lagi, bersama Sukainah. Berdiri di depan tiang, namun mereka berbincang tanpa berhadapan seperti kemarin. Nyatanya bukan hanya mereka berdua saja yang ada di sana. Tapi, ada Yusuf dan Thoriq yang duduk di teras beberapa meter dari tempat Fahri berdiri.

Tetep aja berduaan. Ini gak bisa dibiarin!

Fahri menghampiri Hamzah dan mereka berdua berhenti mengobrol, kompak menoleh kepada Fahri.

"Zah anter ke perpus yuk," kata Fahri, berusaha tak melirik Sukainah yang kecantikannya hampir mencuri pandangan Fahri.

Hamzah menoleh pada Sukainah, meminta izin. "Aku ke perpus boleh?" Terpaksa, Fahri menatap Sukainah. Debaran jantungnya kembali tak karuan.

"Gapapa, Zah. Aku juga mau ke perpus," jawab Sukainah sambil menunduk.

"Yaudah hayu bareng!" Pepet Fahri spontan.

Sukainah tersenyum manis dengan kepala tertunduk. "Kalian duluan aja."

Fahri merasa kecewa. Baru saja percobaan pertama, ia sudah ditolak saja.

"Aku sama Fahri ke perpus duluan ya," kata Hamzah lembut. Fahri berkerut karena belum pernah mendengar Hamzah berkata seramah itu kepada orang lain, bahkan teman-teman perempuan mereka di kelas MIPA 4.

"Silahkan," ujar Sukainah, masih terus menunduk. Fahri bertanya-tanya mengapa gadis itu tak menengadahkan kepalanya ketika menjawab. Fahri langsung menilai bahwa hal itu agak kurang sopan.

Namun buru-buru ia menepis penilaian buruk itu, dan Hamzah mendorong bahu Fahri untuk segera memakai sepatu di depan teras masjid.

Fahri dan Hamzah pun mulai meninggalkan masjid, namun baru beberapa langkah Hamzah membalikkan badan sambil terus berjalan. "Dah, Sakinah!" Seru Hamzah.

HABIBTY [COMPLETED]Where stories live. Discover now