Prolog

189 21 0
                                    

Hari ini, Fahri bersama ayahnya sedang menunggu antrian panggilan untuk mengisi data diri siswa baru. Fahri menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat wajah seusianya yang akan menjadi temannya selama tiga tahun ke depan. Mereka tampak asing, tak ada satu pun yang dikenalnya.

Fahri membuang nafas sedih. Seandainya Rangga dan Irfan ikut dengannya untuk bersekolah di sini, pasti ia tidak akan merasa kesepian seperti sekarang. Tapi, Fahri segera mengganti kekhawatirannya dengan berpikir optimis, bahwa ia akan menemukan sahabat dekat di SMA, cepat atau lambat.

"Nomor 60 sampai 65!" Speaker berbunyi, menggemakan suara seorang wanita yang sepertinya operator sekolah.

Fahri dan ayahnya masuk ke dalam salah satu ruang kelas. Ada bangku yang berjajar sebagai tempat tunggu orang tua. Fahri dipanggil salah seorang guru dan ia menghampirinya.

"Selamat Siang, silahkan duduk," sambut guru laki-laki berkacamata rantai itu. Fahri duduk di depan meja sambil membawa beberapa piagam penghargaan yang telah ia raih selama di SMP. Fahri menjawab beberapa pertanyaan dari sang guru, dan guru tersebut mengetik lincah di komputer.

"Baik sudah selesai. Tinggal tunggu kertas untuk data. Semoga mendapat yang terbaik ya Nak Fahri," ucap bapak itu ramah. Fahri membungkuk dan mengucapkan terima kasih.

"Deg-degan, Yah..." Kata Fahri ketika duduk di sebelah ayahnya.

"Ayah percaya Fahri pasti keterima. Inshallah," dukung ayah Fahri.

Fahri memeluk map yang berisi tumpukan piagamnya, lalu ia menangkap seorang perempuan berhijab panjang tengah memperlihatkan piagam-piagam miliknya kepada guru di depannya.

Fahri menahan nafas, Ya Allah banyak sekali piagamnya. Batinnya kini menjadi tak karuan. Buru-buru dia membaca Al-Fatihah untuk menghilangkan kegelisahannya karena di sekolah ini jalur prestasi hanya menerima sekitar 20% dari siswa yang mendaftar. Sekolah imi merupakan SMA Negeri terbaik di lingkungan tempat tinggalnya. Dan diterima di SMA ini merupakan impian semua orang, termasuk Fahri.

Fahri terus menatap calon temannya itu, lalu ketika perempuan belia itu berbalik, Fahri kembali menahan nafas karena wajahnya yang nampak cerah dan rupawan.

Perempuan tadi menghampiri seorang wanita yang Fahri kira adalah ibunya.

"Liatin siapa, Ri?" Tanya ayahnya tiba-tiba. Fahri terlonjak.

"Eh enggak, Yah." Fahri berbohong.

"Ayah tahu dia cantik. Tapi jangan sampai melotot gitu liatnya," kata ayah Fahri seraya tertawa kecil.

Fahri hendak membantah bahwa ia terpukau dengan piagam yang dimiliki perempuan tadi. Tapi, ia memilih untuk diam saja.

Astaghfirullah Fahri... Jaga pandangan... Jaga pandangan....

HABIBTY [COMPLETED]Where stories live. Discover now