Arti Sahabat

4.7K 489 108
                                    

Dandelion kembali






Happy reading

Dande dipindahkan keruangan rawat biasa sejak siang tadi, alat-alat yang menempel di tubuhnya sudah dilepaskan kecuali infus yang masih setia tertancap di punggung tangannya, dan selang ventilator  diganti nasal cannula.

Ketiga sahabatnya mengerumuni ranjang pesakitan Dande, menatap dalam dirinya. Dande menghindari tatapan mereka, dia sudah menduga bahwa mereka mengetahui penyakitnya.

Rahasia yang selama ini ditutup rapat akhirnya terbongkar juga. Takut sahabatnya tidak mau bersamanya lagi karena dia anak penyakitan dan menyusahkan. Sementara Reza dan Fitri duduk di sofa memberikan ruang kepada mereka.

“Dan ...”

Belum sempat Hendra menyelesaikan perkataannya Dande memotongnya cepat. “Jangan tinggalin gue ... hiks.”

Kenzie menghapus air mata Dande.“Siapa yang mau ninggalin lo.”

“Gue 'kan penyakitan, pasti kalian jijik sama gue ... hiks.”

Mereka berusaha meredam emosi mulai membuncah, bisa-bisanya Dande berpikiran seperti itu.

“Siapa yang bilang!?” ucap Putra dingin.

Hendra menyadari raut muka Dande ketakutan, memegang pundak kiri Putra agar tidak kelepasan.

Kenzie menangkup pipi Dande. “Dengarin gue … mau lo penyakitan ataupun semua orang jijik lihat lo, kami nggak akan ninggalin lo. Kita ini tulus sahabatan sama lo, Dan. Jangan pernah pikirin kayak  gitu.”

“Lo lupa? kKta ini best forever, sahabat nggak akan pernah meninggal sahabatnya yang lain. Susah senang kita pikul bersama, itu janji kita selama ini,” ucap Hendra.

Dande tersentuh ketulusan ketiga sahabatnya, dia begitu bodoh berpikiran ketiga sahabatnya tidak mau lagi bersamanya.

Putra duduk di pinggir ranjang, menatap lembut Dande. “Lo itu kesayangan kami semua, nggak mungkin kami ninggalin lo, Dan.” Putra memeluk Dande, Kenzie dan Hendra pun ikut bergabung.

Reza dan Fitri tersenyum menyaksikan ketiga sahabat Dande begitu tulus. Setidaknya ada Kenzie, Hendra dan Putra yang menjaga Dande ketika mereka tidak ada lagi disisinya.

🌼🌼🌼

Diana berjalan menuju ruang Fero sehabis membeli makanan di kantin rumah sakit. Tak sengaja matanya menangkap Fitri, adik iparnya. Berjalan di depannya ‘mungkin mau jenguk Fero’ pikir Diana.

Namun perkiraannya salah, Fitri masuk ruang rawat VIP lain. Diana penasaran, mengintip pintu yang tidak tertutup rapat.

Dapat dia lihat, anak selama ini dia benci sedang terbaring lemah di sana, untuk sesaat hati Diana berdesir melihat bagaimana kondisi anak itu. Tapi  hanya sebentar, kebencian mulai menghampiri, mengingat semua kenangan masa lalu.

Diana buru-buru bersembunyi saat Fitri keluar, ketika adik iparnya itu hilang dari pandangan. Diana memanfaatkan kesempatan, masuk ke dalam ruang Rawat Dande yang kebetulan anak itu hanya sendirian. Melangkah lebar mendekati Dande lalu menarik kuat-kuat rambut anak itu.

“Bun ... da … sakit ... hiks.” 

“NGGAK CUKUP KAMU NYUSAHIN KELUARGA SAYA! SEKARANG MALAH NYUSAHIN ADIK SAYA!” sarkas Diana.

“Ma ... af Bunda ... hiks,” cicit Dande.

“Maaf! Maaf! Kamu emang nggak berguna ya!” Dande menggigit bibirnya Menahan semua luka yang diberikan bundanya.

Dihempaskan kasar jambakan itu sampai-sampai kepala Dande terbentur ujung meja sebelah bangkar membuat darah segar mengucur di keningnya.
Diana mematung, dia begitu hilang kendali.

“Adek!” Fitri berlari menghampiri mereka, mendorong Diana jauh-jauh.

“Apa sih mau kakak?!” pekik Fitri.

Sungguh amarah Fitri berada di ubun-ubun. Kakak iparnya benar-benar keterlaluan memperlakukan anak kandungnya sendiri tidak manusiawi.

“Jaga sopan santunmu! Begini cara kamu berbicara kepada yang lebih tua!”

Fitri tersenyum remeh. “Untuk apa saya harus sopan kepada orang yang menyakiti ANAKKU.” Fitri menekan kata terakhirnya.

“Anak? Nggak salah kamu anggap dia sebagai anak? Sadar Fit, dia itu cuma nyusahin orang aja bisanya!”

“Seharusnya kakak yang sadar! Sekarang saya jadi ragu, kakak itu seorang ibu atau bukan?”

Muka Diana merah padam, adik iparnya ini berani meremehkannya. “Dasar kurang ajar! Saya ini kakak ipar kamu, nyesel saya merestukan kamu dengan adik saya.”  Diana menunjuk Fitri, pergi meninggalkan mereka.

“Ma ... ma ... hiks.” lirih Dande yang sudah diambang kesadarannya.

Fitri tersadar bahwa anaknya butuh pertolongan, bergerak cepat menekan tombol saklar brutal. Tak lama Reza datang bersama dua suster berlari tergesa-gesa.

“Ya Allah, Dek,” panik Reza melihat kening anaknya berdarah.

Reza mengambil alih tubuh Dande di pelukan Fitri, menanganinya dibantu dua suster yang ikut bersamanya.

Fitri duduk menangis di sofa , menyalahkan dirinya lalai menjaga anak semata wayangnya.

Terpaksa Reza  menyuntikkan obat penenang  karena Dande sempat memberontak sewaktu diperiksa. Kondisinya sekarang drop akibat kejadian itu, keningnya diperban serta masker oksigen menutupi sebagian wajahnya.

Dua suster yang membantu telah pergi, tinggallah Fitri kembali duduk di kursi samping ranjang pesakitan anaknya, dan Reza berdiri di samping sang istri.
  
“Maaf ... ini semua salahku mas ... hiks.” Reza memeluk dan menghapus air mata istrinya.

“Coba jelaskan perlahan-lahan,” ucap Reza dengan lembut

“Kak Diana datang sewaktu aku keluar sebentar. Dia marah-marah  dan berbuat kasar ke adek. Dia juga yang bikin kening Adek berdarah ... hiks.” Fitri menjelaskannya sesuai fakta yang dia lihat.

Reza mengepalkan tangannya,  dibilang marah ya tentu marah. Anak yang tidak ada salahnya harus menjadi sasaran kemarahan, dia tidak habis pikir jalan pikir kakaknya itu.

“Mas ... kita pergi jauh aja. Aku takut mereka menyakiti anak kita lagi Mas.” Fitri memegang kedua tangan Reza.

“Pasti kita akan pergi jauh, tapi kita harus cari waktu yang tepat mengingat kondisi Adek tidak memungkinkan,” ucap Reza memberi ketenangan.

Entah apa yang akan terjadi kedepannya, semakin lama terasa semakin pelik kenyataan menghantam mereka. Biarlah menjadi rahasia sampai waktu berbicara.


TBC

Salam Manis Popon

Dandelion [OPEN PO]Kde žijí příběhy. Začni objevovat