Chapter 1

3.3K 303 23
                                    

Chapter 1

Diandra kembali tergeletak ke atas kasur busa, tubuhnya lengket oleh keringat dan sulit untuk bergerak karena nikmat yang mendera. Tubuh rampingnya mengejang karena pelepasan dahsyat yang dirasakannya masih terasa hingga kini. Suaminya, Fabian, telah melepas, memisahkan dan menjauhkan dirinya dari Diandra hanya beberapa detik setelah mereka berdua meraih orgasme bersama-sama dan terbaring telentang di sampingnya, napasnya berat dan tersendat.

Diandra berbaring menyamping, menyusuri penuh cinta wajah pria itu dengan tatapannya, rindu ingin menyentuh dan membelai kulit Fabian yang lembut dan sedikit kecoklatan, tapi Diandra tahu kalau sentuhannya bakal ditolak. Kata-kata Fabian, yang selalu dikatakannya setelah klimaks percintaan mereka, masih menggantung di udara di antara mereka berdua dan masih saja, setelah berbulan-bulan terakhir ini, menyakiti hati Diandra lebih dari yang seharusnya.

"Beri aku anak laki-laki, Diandra..."

Dengan lima kata itu, Fabian telah membunuh rasa bahagia wanita itu, menghancurkan keintiman momen mereka berdua dan menjadikan kegiatan seksual mereka sesuatu yang tak lebih dari kegiatan biologis semata. Setelah delapan belas bulan menghadapi hal yang sama, Diandra akhirnya bisa menerima bahwa hal ini tidak akan pernah berubah. Kesadaran ini tidak datang secara tiba-tiba. Tidak, pengetahuan ini bertumbuh perlahan sejak pertama kali Fabian mengucapkannya pada Diandra.

Tapi Diandra juga punya empat katanya sendiri. Kata-kata itu sudah menunggu di ujung bibirnya beberapa bulan terakhir ini dan sudah seharusnya diutarakan jauh sebelum ini. Kata-kata yang tidak bisa lagi ditelan oleh Diandra; tidak peduli sesakit apa ketika Diandra mengucapkannya. Wanita itu duduk, telanjang, tubuhnya masih gemetar dan mengangkat lututnya ke dada. Diandra melingkarkan lengannya mengelilingi kaki, menempelkan pipinya ke lutut, mengamati napas Fabian perlahan tenang dan gemetar tubuh pria itu sedikit demi sedikit berkurang. Fabian berbaring telentang, tubuh telanjangnya terlihat indah, matanya tertutup, tapi Diandra tahu kalau suaminya belum tidur. Seperti biasa Fabian memerlukan waktu untuk menguasai diri sebelum beranjak ke shower, di mana Diandra selalu berimajinasi Fabian akan berusaha menggosok lepas aroma dan sentuhan Diandra dari tubuhnya.

Diandra tidak bisa lagi menahan kata-kata yang disimpannya, dan kalimat itu terlepas dari bibirnya dalam kesungguhan yang putus asa.

"Aku mau cerai, Fabian."

Tubuh Fabian menegang. Setiap jengkal otot di tubuhnya berubah kaku seperti momen diam yang berkepanjangan, sebelum akhirnya ia menoleh dan menjumpai tatapan Diandra. Matanya terlihat mengantuk, dan bibir atasnya melengkung mengejek.

"Oh... Kukira kamu cinta padaku, Diandra?" ujar Fabian dengan kekejaman sempurna, membuat Diandra harus menutup kedua matanya mencoba menyembunyikan sakit yang ditimbulkan oleh kata-kata suaminya. Ketika Diandra yakin bahwa emosinya kembali stabil, ia membuka matanya lagi.

"Itu dulu." Diandra berharap kebohongannya terdengar meyakinkan.

"Hmmm..." Suaminya bergumam malas. "Apa kabarnya, 'Selamanya aku cinta kamu, Fabian'?" tanya Fabian, dengan cara berbicara feminin dibuat-buat.

"Sekarang berbeda," bisik Diandra.

"Apanya yang beda?" Fabian berguling ke samping, mengangkat setengah tubuhnya dengan siku, mengistirahatkan kepalanya di tangan. Tubuhnya kini terlihat begitu maskulin dan indah, tenggorokan Diandra mendadak kering karena hasrat. Terasa sakit ketika ia menelannya kembali.

"P-perasaan bisa berubah..." ujar Diandra tergagap. Lagi, gumam serak suaminya terdengar menyetujui, tapi wanita itu tidak mudah dibodohi oleh postur Fabian yang terlihat rileks; seluruh tubuh suaminya kini tegang seperti ular yang siap mematuk. "Aku... aku beda sekarang..."

Kesempatan KeduaWhere stories live. Discover now