Chapter 8: Hukuman Tambahan √

290 43 1
                                    

Haiii selamat malam.
Selamat membaca, semoga suka :))
Terima kasih sudah mampir ya..
***

Tatapan mata Idlam seakan membakar Mirenda hingga hangus. Gadis itu mendadak ingin menjadi semut saja agar bisa sembunyi di kolong mobil.

"Buka pintunya, Mirenda!" masih di posisi yang sama, Mirenda tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Hanya kepalanya saja yang bergerak, membalas tatapan Idlam dengan ngeri.

"Bapak ngapain ke sini?!" teriaknya dari dalam. Mirenda tak peduli bila Idlam kesusahan mendengar teriakannya akibat pintu yang tertutup rapat. "Pulang aja, Pak!" kini tangannya ikut bergerak, mengusir Idlam.

Jesi kejam sekali membiarkan Idlam datang ke sini, dan kenapa juga dosennya itu mau-mau saja disuruh oleh Jesi. "Pengkhianat si Jesi! Awas saja nanti, gue bales!" Mirenda mengumpat kesal pada Jesi.

Mirenda menghela napasnya dengan lega saat melihat Idlam tak lagi menggedor pintu mobilnya. Lelaki itu kini sibuk menelpon seseorang. Mungkin dia mengadu pada Jesi. "Ih lebih baik gue dirampok aja dari pada dijemput sama si singa!"

"Ahhgg jangan dirampok lah, ngeri juga," ralatnya.

Cukup lama Idlam berkutat dengan ponsel pintarnya. Mirenda pikir Idlam akan pergi setelah masuk ke mobilnya sendiri. Namun, ternyata dia salah. Kakak dari sahabatnya yang merangkap menjadi dosen pembimbingnya itu ternyata turun lagi dan menghampiri mobilnya. "Mau apa lagi si singa?" tanya Mirenda memundurkan kepalanya.

Pupil mata Mirenda membesar saat melihat Idlam membawa sesuatu yang siap ia pukulkan pada kaca mobilnya. Buru-buru gadis itu membuka pintu. "Mau apa?" tanyanya syok.

Idlam menarik sudut bibirnya dengan sinis. Membuat Mirenda ingin sekali memberi pelajaran pada bibir itu dengan cara menggigitnya. Astaga! Mirenda melambaikan tangannya di depan wajah, menepis pikiran tak masuk akal itu. "Bapak ngapaiin ke sini? Kita nggak ada urusan Pak, karena ini di kantor," ucapnya.

"Kamu yang minta," jawab Idlam dengan santai.

"Minta gimana? Sembarangan aja si bapak ini," balas Mirenda tak terima. Sejak kapan dirinya meminta Idlam datang ke sini? Dia kan hanya menghubungi Jesi.

"Jangan bilang yang angkat telpon aku itu Bapak?" mulut Mirenda menganga saat melihat Idlam menganggukan kepalanya. "Terus ngapain Pak Idlam nurutin datang ke sini? Aku kan minta tolong sama Jesi," ucapnya.

"Kamu mau adik saya kenapa-napa karena kata kamu tempat ini rawan?!"

Mirenda menelan ludahnya dengan susah payah. Sial! Mendadak dirinya menyesal menghubungi Jesi. Lebih baik menunggu Sadaan saja sampai abangnya tersayang itu mengangkat telepon, dari pada singa ini yang datang.

Lihat saja sekarang, si singa tidak ada ramah-ramahnya sama sekali. Selalu terlihat ingin menelannya bulat-bulat.

Saat hanya ada keheningan di antara mereka, tiba-tiba mobil derek datang dari arah depan. Otak Mirenda mencerna dengan cepat. "Pak mobilku mau dibawa sama mereka?" tanyanya tak percaya.

"Terus gimana lagi? Kamu bilang bengkel jauh, kan?" mau tak mau Mirenda menganggukan kepalanya. Di sekitar mereka memang tak ada bengkel. Sementara di depan sana Mirenda tidak tahu.

Mirenda terpaksa merelakan mobil kesayangannya dibawa pergi oleh mobil derek. Gadis itu menghela napasnya dengan berat. Dirinya juga terpaksa naik mobil Pak Idlam demi bisa pulang ke rumah. "Pak, memangnya Bapak nggak bisa ganti bannya saja?" tanya Mirenda penasaran. Masalahnya, Idlam atau Papanya akan dengan mudah melakukan itu. Masa Pak dosen tidak bisa?

"Gampang!" jawaban Idlam yang terdengar santai membuat Mirenda lagi-lagi membuka mulutnya lebar-lebar. "Terus kenapa nggak Bapak ganti aja?" tanyanya.

"Suka-suka saya."

Bahu Mirenda melemas begitu saja. Ya Tuhan.. Apa salahnya hingga harus dipertemukan dengan manusia seperti Idlam Casildo seperti ini? Mirenda tahu dirinya sering membangkang, tapi kenapa harus Idlam yang menyebalkan? Kenapa juga si singa ini harus menjadi dosennya?

"Kenapa kamu nggak protes lagi? Kehabisan stok ya?" pertanyaan macam apa itu? Mirenda sengaja membungkam mulutnya karena tak ingin beradu dengan Idlam. Namun, sepertinya dosennya itu tak mengerti.

"Sepertinya kamu memang sudah kehabisan kata-kata,"

Mirenda masih diam saja. Dia tak ingin menambah masalah pada dosennya.

Ck. Decakan itu menarik perhatian Mirenda. Terpaksa dirinya menoleh pada Idlam. "Bapak kenapa sebal sama saya?" tanyanya.

Idlam ikut menolehkan kepala. "Karena kamu lupa berterima kasih atas pertolongan saya malam itu," demi apa jawaban Pak Idlam membuat Mirenda kesulitan menelan air ludahnya sendiri.

Mirenda menatap tak percaya pada Pak Idlam karena membahas malam terlaknat yang mati-matian ingin dirinya lupakan.

Secepat kilat gadis itu membuang wajahnya saat Idlam membalas tatapannya. Dapat Mirenda lihat dari ekor matanya, Pak Idlam tersenyum mengejek padanya. Mirenda memejamkan mata, mencoba menemukan kata apa yang kira-kira pantas untuk membalas ucapan dosennya ini.

"Pak, soal malam itu," Mirenda menelan ludahnya dengan susah payah. Dirinya tak mungkin bersembunyi lagi. Pak Idlam sudah terang-terangan membahas malam itu sekarang. "Saya mohon lupakan saja!" ucapnya cepat tanpa berani menatap Idlam lagi.

"Kalau saya nggak bisa, gimana?" mata Mirenda tak bisa diajak kompromi. Tiba-tiba saja sudah kembali menatap Idlam yang berada tepat di sampingnya itu. "Maksud Bapak?" tanya Mirenda tak mengerti.

Namun, Idlam mengedikan bahunya. Lelaki itu hanya menyisakan senyum misterius di wajahnya yang ganteng. Sial! Kenapa juga Mirenda harus memuji penampilan Idlam di saat seperti ini? Dirinya pasti sudah tidak waras.

"Oya, tugas tadi pagi sudah selesai?" tanya Idlam saat keheningan telah terjadi setengah jam lamanya. Lagi-lagi Mirenda menoleh dengan cepat. Entah kenapa, menelan ludah dengan susah payah kini menjadi kebiasaannya. "Be.. Belum, Pak," cicitnya.

Sekali lagi Idlam menarik sudut bibirnya. "Kalau judul penelitian sudah ada?" suara Idlam yang mendadak lembut justru membuat Mirenda semakin ketakutan. Kulkas berjalan ini tak mungkin tanpa alasan melakukan itu. "Be.. Belum juga, Pak," katanya.

"Bagus!"

"Huh, gimana?" tanya Mirenda.

Idlam menarik sudut bibirnya, membentuk senyum sinis. Kali ini Mirenda yakin dirinya telah melakukan kesalahan besar di masa lalu sehingga bisa dipertemukan dengan iblis berwajah tampan seperti Idlam ini.

"Saya bisa nambahin hukuman kamu sekarang," katanya.

"Kumpulkan rangkumanmu malam ini juga! Karena besok kamu harus menyetor judul penelitian pada saya,"

Mirenda hanya sanggup menatap Pak Idlam dengan melongo. Bibirnya yang tebal dan seksi terlihat tak menyatu. Sedangkan matanya yang tajam mendadak redup. Sepertinya, Mirenda harus melakukan sesuatu agar dosen pembimbingnya ini tidak menyiksanya lagi.
.
.
Lanjut 👉

Jangan lupa tinggalkan LOVE & KOMENTAR ya. Terima kasih :))

Suamiku Dosen PembimbingkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang