Chapter 14: Rindu √

86 6 0
                                    

Selamat membaca ya, update 2 kali hari ini karena kemarin aku nggak sempat. Info ini sudah aku sampaikan di IG juga. Yang belum follow yuk gaskennn @awindsari terima kasih hehe.
***

Duduk bersama kedua orang tuanya pada ruangan yang sama membuat Mirenda merasakan kecanggungan sendiri. Apa lagi Mikela, ibunya menatap tak berkedip padanya sejak kedatangannya. Semantara Dhafin, Papanya, tampak bersikap biasa saja.

"Kamu serius pakai jilbab, Mir?" pertanyaan itu akhirnya terembus juga dari mulut Kela. Jujur, dia terkejut mendapati anak gadisnya berpenampilan beda.

Bukan Kela tak senang, tetapi ini di luar dugaan. Diam-diam Kela selalu memantau Mirenda meskipun tidak secara langsung. Mikela juga mengetahui apa saja yang Mirenda lakukan selama mereka berpergian. Alasan kenapa Kela dan Dhafin pulang lebih cepat dari yang seharusnya adalah Mirenda sendiri. Kejadian di pesta malam itu diketahui oleh Mikela dengan pasti. Diam-diam Gery juga sudah mendapatkan pelajaran yang setimpal atas perbuatannya itu.

Namun, Mirenda selalu salah paham. Putrinya itu selalu berpikir mereka tak pernah memperhatikannya. Entah bagaimana cadanya meluruskan kesalahpahaman itu. "Kamu tahu kan kalau jilbab bukan untuk mainan? Mama sendiri belum cukup berani untuk melakukan itu," ucapnya.

Mirenda berdecak sebal. "Itu Mama. Beda sama Mirenda," balasnya. Mirenda tak suka disama-samakan. Dulu, Mikela adalah idolanya, tetapi sejak jarak membentang di antara mereka, Mirenda tak suka dikait-kaitkan pada mamanya itu.

Menghela napas berat, Mikela mencoba memahami putrinya. "Mama cuma minta kamu konsisten, Mir. Jangan kecewakan Mama dan Papa," lirihnya.

"Aku nggak akan lakuin itu karena aku tahu rasanya dikecewakan." itu lah kenapa Mirenda ingin menyelesaikan kuliahnya di sela pesta yang sering kali dia dan Jesi adakan. Mirenda masih berharap dengan lulusnya ia dari kuliah tepat waktu bisa membuat perhatian Kela dan Dhafin kembali padanya.

"Mire,"

Mirenda tertunduk ketika mendengar suara Dhafin yang dalam dan tegas. Gadis itu tahu Papanya tak suka mendengar cara bicaranya pada sang Mama.

"Pa, sudah," tegur Kela agar Dhafin tetap diam. Mirenda sudah terlanjur salah paham pada mereka. Lagi pula, Kela sadar dia dan Dhafin memang sudah sangat lama tidak berkumpul bersama anak-anak mereka. "Oya gimana skripsi kamu, Sayang?" Mikela mengalihkan pembicaraan.

"Begitulah," singkat dan padat Mirenda menjawab pertanyaan mamanya. Hal itu membuat Sadaan ikut bicara. "Sudah ngerjain draft dia, Ma," lelaki itu tahu Mamanya sedang berusaha memperbaiki keadaan.

Mikela mengalihkan perhatiannya pada Sadaan, anak tertuanya. "Syukurlah, Mama lega. Itu artinya sebentar lagi bisa wisuda juga kayak kamu," ucapnya sambil tersenyum.

Dalam setiap tarikan bibir yang Mikela tunjukan, entah kenapa Mirenda merasa bersalah karena telah bersikap acuh pada perempuan yang telah melahirkannya itu. Mirenda menghela napasnya dengan berat. "Ma, Pa, aku izin ke kamar dulu. Bentar lagi mau ke rumah Jesi, kami janjian ngerjain draft proposal di sana," pamitnya. Tidak ada janji yang seperti itu. Hanya saja, Pak Idlam mengabari bahwa draftnya sudah bisa diambil. Karena dia tak lagi di kampus, Pak Idlam mengatakan bisa diambil di rumah saja.

"Ohh gitu ya? Ya sudah kamu boleh pergi," begitu mendapatkan izin itu, Mirenda buru-buru masuk ke kamarnya.

Melepas pasmina panjang yang tadi menutupi kepalanya. Mirenda menatap lekat dirinya pada pantulan cermin di kamarnya itu. Helaan napas berat terembus begitu saja. Ada lapisan bening di kedua bola matanya akibat jarak yang semakin nyata antara dia dan orang tuanya. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya begitu air mata betul-betul membasahi pipi. Mir tak sanggup menahan desakan itu, hingga menangis adalah pilihannya.

Rambut bergelombang miliknya bergerak kala ia terisak, mengikuti bahu yang juga bergetar pedih. Mirenda tak kuasa menahan kecewa. Kenapa Mamanya tak memeluknya terlebih dahulu setelah tak bertemu beberapa waktu? Seperti yang Ibu dan anak lakukan setiap kali ada rindu.

"Apa Mama nggak rindu sama aku?" sudah sangat lama tak dirinya rasakan pelukan hangat itu. Namun, Mirenda tak sanggup meminta. Mamanya tak peduli, itu yang selalu menjadi penghalang untuk membuatnya berlari ke dalam pelukan Mikela.

Sekali lagi gadis berparas cantik itu menghela napas dengan berat. Diusapnya dengan kasar sisa airmata yang tadi membasahi pipi. Mirenda menggeleng tegas. Sudah tidak ada yang bisa ditangiskan lagi. Dirinya sudah cukup dewasa memilih jalan mana yang harus ditempuh. Jika hubungannya dengan orang tuanya tak bisa diperbaiki, maka Mirenda akan menjalani hidupnya seperti biasa.

"Lo nggak boleh nangis lagi, Mir!" ujarnya. Diraihnya ponsel yang tadi tersimpan di dalam tas. Mirenda ingin menanyakan di mana keberadaan Jesika. Dari kampus beberapa jam yang lalu, Mirenda tak langsung pulang. Gadis itu berkeliling sampai pukul Dua siang. Setelahnya baru pulang karena Sadaan sudah menelpon berkali-kali. Memintanya kembali ke rumah karena orang tua mereka sudah pulang.

Kini, jarum jam sudah menunjukan pukul Empat sore. Mirenda yakin Jesi sudah ada di rumah, hanya saja, dia ingin memastikannya langsung.

Kembali gadis itu mengenakan pasminanya, lalu beranjak dari kamar tanpa mengganti pakaian setelah mendapat balasan dari Jesi bahwa ia sudah di rumah. Sama seperti pagi tadi. Mirenda mengenakan baju hitam dengan lengan mengembung diujungnya. Sementara celana berwarna senada dengan pasmina abu-abunya.

"Mire! Sudah mau berangkat?" pertanyaan Mikela menghentikan langkah Mirenda. Gadis itu berbalik dan terkejut saat tiba-tiba saja Mikela mengulurkan tangan lalu memeluknya. Tubuh Mirenda menegang. Getaran penuh rindu itu dirasakan sepenuhnya olehnya. "Hati-hati di jalan, Nak," ucapan penuh perhatian itu juga menyentuh relung hati Mirenda. Dia tak berani menatap mata Mamanya karena takut menangis.

"Iya, Ma. Aku pergi dulu," balasnya bergetar. Mikela menjawab dengan anggukan kepala. Setelah itu dia melepas kepergian Mirenda.

Mikela menghela napas dengan berat. Semoga saja dia bisa kembali dekat dengan putrinya itu. Jujur, Mikela tak sengaja memberi jarak sampai seperti ini. Dirinya baru sadar setelah Sadaan memberi tahu keluhan Mirenda beberapa tahun ini. Namun, untuk Kela tidak tahu bagaimana cara memperbaiki hubungan mereka. Apa lagi Dhafin memang membutuhkannya setiap waktu.

"Maafin Mama, Mir." lirihnya.

Di sisi lain, Mirenda yang sedang berada di dalam mobilnya menatap sendu foto keluarga yang ada di gallery ponselnya. Mendadak harapan untuk mendapatkan perhatian dari orang tuanya bersemi kembali. Mirenda betul-betul merindukan perhatian dari mereka. Dirinya bosan membersamai kesepian.

Cukup lama gadis itu terdiam, sebelum menekan pedal gas dan membiarkan kendaraan roda Empat itu membawanya menuju rumah Jesika yang juga rumah Pak dosennya. Kini, Mirenda tak takut lagi bertemu dengan Idlam. Dia percaya diri pada penampilan barunya ini.
.
.
To be continued.
Jangan lupa komentarnya ditinggalkan ya. Terima kasih.

Salam sayang, Awindsari 💕

Suamiku Dosen PembimbingkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang