19. Lea & Me

12.1K 1.2K 38
                                    

Selama dirawat, teman-teman datang berkunjung silih berganti. Kalau Elsa, dia malah setiap hari. Pun begitu dengan Daniel. Pria itu nyaris setiap hari datang ke rumah sakit. Awalnya aku bingung dari mana ia tahu tentang kecelakaan yang menimpaku karena aku tak pernah memberitahunya. Ternyata, kabar itu ia dapat dari rekan-rekan, ketika di suatu siang ia datang ke kantor dan tak dapat menemukanku.

Mama Daniel juga pernah datang membesuk, sekali. Membawakan banyak makanan dan juga bunga yang cantik. Ah, aku benar-benar merasa bersalah padanya. Mungkin ini akan terdengar sangat pasaran, tapi aku tulus mendoakan agar kelak Daniel mendapat jodoh yang baik agar Mama dan Papanya bahagia. Mereka orang yang baik, dan aku yakin mereka juga akan dikelilingi orang-orang baik.

°°°

Sore itu, sehari setelah dokter menyatakan bahwa aku boleh pulang, Daniel kembali datang. Ia membantu Mas Aron dan Elsa berkemas. Sementara Papi mengurusi administrasi dan Mami menunggu di rumah. Setelah acara berkemas selesai, Mas Aron dan Elsa keluar untuk menyiapkan mobil, sekaligus menyusul Papi yang lama tak kunjung selesai.
Aku dan Daniel berdua saja di kamar, kali ini lumayan canggung. Seolah ini akan jadi pembicaraan final di antara kami.

"Niel ... Makasih, ya," ucapku tulus. Aku duduk di pingggiran ranjang, sementara pria itu berdiri dekat jendela. Cepat ia tersenyum. "Eit, jangan salah, lho, ya. Aku rajin mengunjungimu, melihat keadaanmu, bukan karena aku pamrih, ingin balasan cinta dari kamu. Bukan gitu. Aku cuma menunjukkan rasa peduliku padamu." Ia menjawab.

Mendengar ucapan Daniel aku tersenyum. "Kamu bener-bener pria yang baik," bisikku.

“Aku tahu. Sayangnya kamu tetap nggak milih aku, kan?”

“Daniel ....” Aku mengerang.

Pria itu manggut-manggut sembari beranjak duduk di sisiku. “That’s okay. Apapun itu, aku akan tetap ada buat kamu, layaknya sebagai sahabat. Harapanku, sih, hubunganku kita nggak akan ada yang berubah. Aku masih ingin sering-sering nelpon kamu. Aku masih ingin sering-sering datang ke kantormu sambil bawain bunga yang lebih besar. Aku masih ingin makan siang sama kamu, kapan-kapan. Pokoknya, masih banyak hal yang ingin kulakukan sama kamu.” Ia berujar dengan tatapan menerawang.

“Nanti aku akan bicara secara pribadi sama pacar kamu agar dia nggak cemburu. Ngomong-ngomong, akhir-akhir ini aku nggak ngelihat dia--,”

"Niel,” potongku cepat. “Aku ingin fokus memulihkan diri dulu,” lanjutku.

Daniel menatapku dalam. “Hei, what’s wrong? Everything is fine?”

Aku menggigit bibir. Tak butuh waktu lama untuk merasakan kedua mataku basah.

“Zoya?”

Aku manggut-manggut. Dengan suara serak aku menjawab, “Yup, everything is fine.”

Daniel menelengkan kepalanya bingung. “No, you’re not fine.” Tangannya terulur, menyelipkan rambutku yang berjuantaian ke belakang telinga. Dan sentuhan itu membuat pertahananku runtuh. Aku rapuh seketika.

“Niel ....” Bahuku terguncang dan air mata tak dapat kutahan.

Seolah memahami akan apa yang kualami, pria itu bergerak mendekapku, menepuk punggungku lembut. Mencoba menenangkanku dengan cara yang ia bisa.

***

Daniel ikut mengantarkanku pulang. Pria itu tak berlama-lama singgah di rumah. Setelah semua barang-barang dari rumah sakit berhasil dipindahkan ke dalam rumah dan aku dibawa ke kamar, ia mohon diri. Ada rapat yang harus dihadiri, namun ia janji bahwa ia akan berkunjung kembali.

“Pria yang baik, ya.” Mami berujar ketika aku sedang sendiri. Duduk termenung di samping jendela. Aku memutar bola mataku lelah. “Nggak bakal ada apa-apa di antara kami, Mi. Aku dan Daniel cuma teman deket. Sudah.” Aku menjawab.

Sexy DaddyWhere stories live. Discover now