10. I was there

11.3K 1.5K 142
                                    

"Jadi darimana Mas Aron bisa dapat nomornya Elsa?" labrakku ketika sudah sampai di rumah.

Mas Aron cuma senyum-senyum, kentara sekali kalau dia bingung menjawab.

"Hasil ngutak-ngatik ponselku, kan?" bentakku.

Dan lelaki itu akhirnya mengangguk sambil senyum-senyum.
"Ya gimana, habisnya kamu nggak mau ngasih, sih."

"Lancang banget sih, Mas. Ngutak-ngatik ponsel orang tanpa ijin itu nggak sopan!"

"Aku cuma nyariin nomornya si Cimut itu doang, kok. Nggak nyari yang aneh-aneh. Suerrr." Mas Aron buru-buru menyanggah.

Aku melongo. "Cimut?"

Ia tersipu. "Cimut. Alias, kecil dan imut. Itu nama yang kusematkan untuknya. Si Elsa."

Hah? Cimut?
Memang sih perawakan Elsa kecil, mungil, dan imut. Tapi dengerin mas Aron manggil dia sebutan khusus kok, aku batal marah. 

“Cimut?”

Mas Aron mengangguk. “Ho oh. Cimut. Kecil, dan imut.” Tawanya menggelegak. Entah kenapa aku jadi was-was. Tak biasanya Mas Aron memberikan julukan pada cewek yang ia dekati maupun yang sudah dekat. Pacaran sekian tahun dengan Mbak Vanya, ia cukup memanggil dengan nama.
Begitu ia menyiapkan panggilan khusus untuk seseorang, rasanya aneh. Belum lagi ekspresinya ketika berbicara, gembira sekali.

“Mas…” Aku berdehem sejenak. “Mas serius? Sama Elsa?”

Tawa mas Aron terhenti seketika. “Emang aku pernah nggak serius sama cewek?” Ia balik bertanya.

Aku mengangat bahu. “Bukannya gitu. Masalahnya, Mas baru aja putus. Tiba-tiba ingin serius mendekati cewek lain, rasanya aneh aja. Aku takut mas cuma sekadar coba-coba, main-main, atau … cuma cari pelampiasan. Elsa itu walau rada lemot, tapi dia anak baik. Dia udah kayak adek sendiri. Jadi, kalau niat mas cuma buat iseng, stop ya, Mas.” Kalimatku juga tak kalah serius. 

Mas Aron menarik napas berat. “Gini ya, Sis. Iya, Mamasmu ini emang baru putus, baru patah hati, berdarah-darah. Tapi ngedeketin cewek lain cuma karena pengen dijadiin pelampiasan atau iseng, itu bukan sifat Mas. Mas sadar punya adek cewek, dan pasti nggak bakal rela kalo kamu digituin orang. Jadi, ini seriusan. Nggak boongan. Cimut itu bener-bener bikin hati Mas fresh, kayak nemu oase di tengah gurun…”

Mataku mendelik. Halah.

“Jadi biarin Mas makin deket sama dia, ya. At least, biarin kami temanan gitu dulu-lah. Dia asyik banget kok diajak ngobrol.”

“Mas udah berumur sementara Elsa masih kayak anak kecil. Kebayang nggak, andai kalian membina hubungan yang serius, Mas pengen nikah, terus dia belum mau? Gimana coba? Ntar kayak Mbak Vanya lagi dong,” potongku.

Dan setelah itu keadaan hening. Kata-kataku seolah menyadarkan Mas Aron. Sekarang, ia tampak ragu dan bimbang.

Aku menarik napas berat.  “Pikirin lagi ya, Mas,” ucapku seraya menepuk pundaknya lalu memilih berlalu. Biarkan dia bergelut dengan batinnya. Aku cuma memberi saran, tak bermaksud merusak momen. Demi kebaikan mereka berdua.

*** 

Baru datang di kantor, Elsa sudah menyambutku dengan baju setengah jadi lengkap dengan buku sket di atasnya.

“Kenapa?”

“Dari pelanggan yang beberapa waktu lalu minta dibuatkan baju formal untuk proses kenaikan jabatan,” jawabnya.

Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk. Mengingat nama pelanggan dan detail pesanannya adalah penting, sebanyak apapun baju yang dibuat dan pelanggan yang datang. Agar mereka merasa diistimewan dan aku sendiri punya mood yang baik untuk membuatkan mereka baju yang sesuai.

Sexy DaddyWhere stories live. Discover now