BAGIAN SATU

1.4K 126 171
                                    

"Takkan ku biarkan kau menjadikanku potongan hidupmu, ketika yang kumau itu membangun hidup bersamamu." -Rupi Kaur.

♾♾♾

Di atas hamparan peristirahatanku. Ku buka lembaran-lembaran buku catatan kecil yang memuat tulisan-tulisan penaku. Mulai dari syair-syair cinta hingga kerinduan, sampai doa dan harapan yang dipanjatkan. Di dalamnya tergores pula senandika untuknya, untuk lelaki itu, Daniyal Alhusayn.

"Baitmu bukan lagi tentang puisi cinta, ia sebuah mantra untuk pendengarnya menghamba." ㅡjuli.

Aku tertawa saat membacanya. Benar, caranya memikatnya takkan ku sebut sederhana meskipun aku tau ia tak sama sekali berniat untuk itu.

3 tahun yang lalu. Aku, Mahasiswa semester akhir yang selalu disibukkan dengan kegiatan bermusiknya. Aktif di segala kegiatan perkuliahan. Mantan Ketua Divisi perkembangan diri dan bakat, dan saat itu baru menyandang predikat sebagai mantan pacar dari seorang ketua BEM yang terkenal, Gilang Efendi.

Entah kenapa di bulan itu,  kejenuhan sedang terik bertahta, muak sudah dengan segala kegiatan yang sesak. Bertahun-tahun bangun pagi, pulang malam, bahkan begadang hingga subuh karena deadline tugas disebabkan jadwal yang berantakan. Di tambah, sang mantan pacar yang baru saja kepergok menjalin hubungan dengan anggota BEM-nya.

Dan di hari-hari yang mulai tak karuan ituㅡ muncullah sekelibat ide yang sebenarnya tak begitu istimewa, healing dan Jogjakarta. Bedanya, kali ini aku berangkat sendirian, benar-benar sendirian, meski harus meyakinkan orang tua dengan segala alasan terlebih dahulu.

Pukul 13.40 mendarat di bandara. Sore tepat jam 14.00, kakiku sudah berpijak menyusuri Tebing Breksi Jogjakarta, sedang ada pertunjukan seni besar-besaran di sana. Mulai dari drama, tari, puisi, juga lukisan-lukisan dan beberapa karya seni lainnya terpajang dalam kegiatan tersebut.

"Oke, mas yang baju hitam silahkan naik ke atas!"

Mataku sontak bergerak menoleh kepada MC di atas salah satu panggung kecil di sana, lalu bergantian kepada seorang lelaki di sebelahku yang ternyata tanpa ku sadari mengacungkan tangan sebagai penyumbang hiburan sore itu.

"Hai," sapaku percaya diri, menyandinginya berdiri di hadapan sebuah lukisan karya Pidi Baiq.

Ia menoleh, mengangkat alis sebelah kirinya, pertanda bertanya, "Siapa?."

"Tadi, btw kamu keren banget baca puisinya," pujiku terus terang masih menatapnya.

"Oh, enggak, biasa aja," elaknya, sedikit tertawa canggung.

"Asli sini kak?"

"Saya? Enggak, saya asli Kudus," jawabnya kini memiringkan badannya menghadapku. Yah, anggap saja sebuah sinyal bahwa ia sudi berbincang denganku, semacam lampu hijau.

"Ohya? Di Jogja? Kuliah atau..."

Tangannya sontak mengibas, "Cuman liburan, saya pendidikan di Kudus juga."

Aku mengangguk-ngangguk, "Sen...dirian?"

"Iya."

"Saya dari Kalimantan Selatan. Ke Jogja juga lagi liburan, dan, juga sendirian," jelasku meski ia tak bertanya sama sekali, sedari awal.

"Ohya? Serius?" Sudah kuduga responnya akan begini. Karena memang dari Bandara hingga tempat lainnya, saat ku ceritakan tentang solo tripku, semua orang memberikan respon yang sama, terkejut.

Aku mengangkat bahu tanda iya.

"Ohya, saya Dzahira, panggil saja Zaa."

"Daniyal. Niyal, panggil saja begitu," jawabnya, seraya menangkupkan dua tangan di depan dada, menolak jabatan tanganku.

DETERMINASIWhere stories live. Discover now