_22_

188 12 4
                                    

Nisan putih itu kini terukir nama indah yang selama ini mampu membuat orang lain bahagia, tanah merah tanpa rumput itu kini menjadi saksi penderitaannya benar-benar telah berakhir.

Seorang Ibu yang hatinya tak mampu melepas permata hidupnya itu kini memeluk nissan putrinya, menciumnya sesekali seakan putrinya kini tengah dihadapannya. Semua orang telah pergi menyisakan keluarga dan sahabat yang belum mau beranjak dari sana.

Tidak ada pembicaraan apapun selain isak yang bersahutan, saling menunduk dengan pikiran mengenangnya.

Semua terpukul atas kehilangan yang tidak terduga. Deandra,gadis manis dengan sejuta kesedihan itu memilih menyerah. Meninggalkan berjuta kesedihan pada sahabat dan keluarga.

Edo tak mampu membendung air matanya menatap makam yang masih nampak basah itu. Ada rasa tak percaya orang yang disayang kini telah berbeda tempat dengannya.

"Hiks"isakan Zahra terus tergema didalam pelukan Edo. Edo terus menenangkan sahabatnya dengan mengelus punggungnya. Zahra terguncang hebat saat mendengar kabar duka tersebut. Bahkan dia merasa semua hanya candaan.

Sedang disisi lain Cinta terus menunduk dalam membiarkan air matanya meluruh dengan isak yang sengaja ditahan. Dia merasa gagal saat ini. Dia merasa dirinya terlambat mengetahui kabar duka ini.

Disaat Cinta sedang asik bermaim dengan kakaknya disebuah taman, tiba-tiba ponselnya berdering dan mendapatkan kabar duka tersebut. Cinta tanpa pikir lama sontak menarik kakaknya dan melayat.

" Ayo,pulang"ajak Zeno pada istrinya yang terus memeluk nissan putrinya itu. Zeno tersenyum pedih harus kehilangan putri kesayangannya. Belum cukup dosanya ia tebus putrinya lebih dulu meninggalkannya.

Kini semua orang berdiri, hendak meninggalkan pemakaman itu.

Edo,Zahra dan Cinta terlebih dahulu berpamitan lalu pergi.

"Nio,"panggil Zeno saat mengetahui putranya tak bergerak dari tempatnya.

" Duluan,Yah,"Zeno menghela nafas. Putranya itu sangat terpukul sampai seperti itu.

"Ayah tunggu di rumah,"Ranio mengangguk sebagai balasan.

Setelah semua orang pergi, Ranio kembali berjongkok. Mengelus nissan adiknya lembut lalu menciumnya lama. Tangisnya pecah hingga terisak.

"Maaf,De. Aku memang abang yang buruk"

Ranio bergumam maaf tiada henti. Ranio tau ini kesalahannya. Andai saja waktu bisa diputar. Andai saja dia tak bodoh dengan menuruti keinginan Kakeknya. Mungkin ini semua tidak akan terjadi,"Abang harap kamu bisa memaafkanku. Abang sayang kamu,De. Maaf sekali lagi,"

Ranio berdiri lalu merasakan gerimis yang sedikit lebat. Namun Ranio tak sedikitpun beranjak dari sana. Dia tetap berdiri seakan itu semua adalah penenang tersendiri baginya.

Setelah puas menikmati, Ranio perlahan pergi dengan langkah pelan keluar pemakaman.

****

"Tuan,pemakamannya telah selesai,"

"Bagus. Berita itu sangat baik,"Malik tertawa senang mendengar kabar itu. Rencananya berhasil dengan sempurna. Bahkan hasilnya sesuai rencana.

"Maros, apakah menurutnya anakku itu akan kemari?"tanyanya penuh angkuh pada orang kepercayaannya.

"Saya rasa hanya Tuan Ranio yang akan datang,"

"Iya, kau benar sekali. Dia pasti akan kemari dan menghajarku. Dia benar-benar mirip denganku saat masih muda. Bahkan nasibnya pun sama. Aku senang sekali. Aku senang bukan hanya aku yang merasakannya."

Maros tersenyum tipis dengan jawaban itu. Dirinya sangat mengerti tuannya. Dia tidak mempunyai kasih sayang apapun untuk keluarganya. Baginya keluarga hanya bentuk pelampiasan rasa sakit dimasa lalunya.

"Buatkan makanan  kesukaan Ranio. Aku harus menyambut kedatangannya dengan bahagia."

"Apakah Tuan akan memberitahu hal itu padanya?"

"Iya,tentu saja. Aku sudah menanamkan didikan keras pada dirinya. Dan kita lihat hasilnya bagaimana, jika sesuai dengan keinginanku maka aku akan senang. Jika tidak kau habisi saja dia."

Maros mengangguk sebagai jawaban.

"Aku tidak membutuhkan barang yang tidak berguna. Sesuatu yang tidak berguna sama dengan sampah"

Setelah mengatakan itu, Malik beranjak dari sofa yang semula dia duduki. Dia berjalan menjauh menuju lantai atas.

Maros menatap Malik sendu. Dulu Malik sangatlah murah hati. Dia adalah seseorang yang dermawan, membantu sesama, menyayangi keluarga, apalagi putri dan istrinya. Tetapi kejadian bertahun tahun lalu itu merubah hati lembut menjadi sekeras batu, merubah sifat baik menjadi bak iblis tanpa belas kasih.

"Siapkan makanan kesukaan Ranio," Setelah mengatakan itu pada seorang pembantu, Maros memilih pergi untuk menyelesaikan beberapa tugasnya.

****

"Buka pintunya,"

"Selamat datang,Tuan muda," Ranio hanya menatap jengah mereka yang menundukkan hormat sebelum memasuki mansion megah Kakeknya.

"Makanlah dulu," Sambutan itu berasal dadi Malik. Wajahnya benar benar bahagia bahkan setelah dia kehilangan cucu.

"Apa kau sudah puas Tuan Malik yang terhormat? Adikku meninggal karena kau, dia meregang nyawa karena rencana busukmu," Ranio menggebu saat mengucapkan semua itu. Bahkan tangannya kini terkepal kuat.

Malik menyeringai, dia duduk dengan tenang di kursi kesayangannya yang berada tak jauh dari ruang utama.

"Tentu saja, aku senang," Ucapnya lalu menyesap teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh pelayannya.

"Apa tujuanmu sebenernya?!"

"Tujuanku? Aku hanya ingin kau merasakan bagaimana kehilangan anggota keluargamu," Malik tertawa keras setelah mengatakannya.

"Kau tau adikmu, Diondra? Dia tiada juga karena aku. Kau tau kenapa? Aku ingin kau merasakan itu semua,"

"Iblis!"

" Dan Deandra juga tiada karena diriku. Kau harus merasakannya, merasakan kehilangan yang pernah aku rasakan"

"Bangsat!! Dia cucumu,"

"Cucu?" Malik tertawa setelah mengucapkannya dengan nada mengejek.

"Bahkan darahku tidak mengalir ditubuh kalian, ayahmu? Dia hanya anak dari adikku, keluargaku sendiri sudah tiada, dan itu semua karena siapa? Karena Ayah kandung ayahmu itu,"

Ranio terbelalak, rahasia ini sangat besar dan dia baru mengetahuinya. "Lalu kenapa kau?"

"Aku hanya tidak suka, jika aku menjadi satu satunya orang yang mengalami ini, dan sekarang aku sudah puas," Malik menyeringai.

Ranio tak berucap, dia belum bisa mencerna segala ucapan itu.

Ranio lebih memilih pergi dari hadapan Malik. Sungguh Ranio saat ini dilanda kebingungan, dia tidak bisa memahami apa yang terjadi.

"Kenapa ini menjadi rumit," Batin Ranio lalu melangkah pergi dari sana.

Sedangkan Malik menatap kepergian Ranio dengan senyuman yang tak dapat diartikan.

Say haiii, update lagi

Maafkan ketidak jelasanku pada part ini,

Tetapi aku harap kalian bisa enjoy,

Happy Reading ❤

Deandra (End)Where stories live. Discover now