D E L A P A N : "Gitar"

1.3K 190 19
                                    

***

Satya duduk diayunan yang ada di depan teras pavilliunnya dengan tangan memetik senar gitar. Dia tengah memainkan sebuah lagu sekarang, sambil bernyanyi meski suaranya hanya sayup-sayup terdengar. Anak itu nampak menikmati waktu senggangnya dengan melakukan hoby yang sejak dia datang ke rumah ini belum sempat dilakukannya.

Hari ini, terhitung seminggu sudah Satya kembali ke tengah-tengah keluarganya. Meski tidak ada perubahan yang berarti. Dia masih tinggal di pavillun belakang rumah, merasa terasing karena sengaja dipisah dengan anggota keluarganya yang lain. Papa nya masih sama saja. Masih dingin dan tidak mau menatap Satya barang sedetik. Satya juga belum diizinkan masuk ke dalam rumah utama bahkan meski itu hanya untuk sekedar sarapan. Hal ini tentu menyakitkan bagi Satya. Tapi dia tidak punya pilihan lain, sebab yang dia inginkan saat ini hanyalah berada di tengah-tengah keluarganya. Jadi meski sakit, Satya akan menahannya. Meski sulit, Satya akan tetap mencoba menghadapinya.

Di tengah-tengah keseriusannya dengan benda kesayangan di tangannya, suara lembut Maretta tiba-tiba terdengar. Membuat petikan oleh jemari Satya terhenti seketika. Lelaki itu mendongakkan kepala dan menemukan mamanya tengah berjalan menghampirinya dengan membawa sepiring kue. Satya ikut tersenyum lebar melihat senyum di bibir mamanya. "Maaa.."

"Sayang.. sedang apa? Sepertinya seru sekali." Maretta bertanya penasaran. Membuat senyum Satya makin lebar.

Terlihat anak muda itu menepuk ruang kosong ayunan di sebelahnya, sambil berkata pada mamanya, "Duduk di sini ma.."

Maretta tanpa berpikir pun lekas-lekas menuruti ucapan sang anak. Tak sampai lima detik perempuan itu sudah duduk rapi di samping Satya. Piring berisi kue bolu ia letakkan dipangkuannya.

"Mama membuat kue?" tanya Satya ketika melirik kue yang dibawa Maretta.

"Ya. Coba buka mulutmu." Perintah Maretta dengan tangan terangkat memegang kue. Satya pun segera membuka mulutnya lebar-lebar demi mempermudah mamanya menyuapinya. "Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Maretta selanjutnya.

Sambil mengunyah Satya membuat ekspresi pura-pura berpikirnya. Membuat mamanya menyenggolnya karena penasaran, sebab Satya tak kunjung memberikan komentarnya. "Bagaimana rasanya Sat?"

"Eum-" Satya masih terus berpura-pura berpikir keras. Seolah dia tidak sedang makan kue, tetapi sedang mengerjakan soal fisika. Membuat mamanya gemas.

"Satya-!"

Pemuda itu pun tertawa melihat mamanya habis kesabaran melihat ulahnya. "Bercanda mama sayang. Rasanya tentu saja seperti biasa. Selalu enak. Semua makanan buatan mama tidak pernah tidak enak."

"Hmmm.." Maretta memajukan bibir bawahnya, lalu menoel hidung Satya. "Kau ini suka sekali menggombali mama sepertinya?!" katanya tak percaya, meski di akhir kalimat tertawa senang juga karena Satya memuji makanan buatannya.

Satya pun turut tertawa. Merasa mamanya sangat hangat memperlakukannya. Namun tiba-tiba dia merasa takut. Takut tidak bisa merasakan kehangatan dan kebahagiaan seperti ini lagi jika suatu saat dia benar-benar pergi. Tawa yang tadi terdengar, senyum yang tadi sempat merekah, perlahan memudar dari wajah Satya saat bayang-bayang kematian bergelayut di benaknya. Lelaki itu lekas-lekas memeluk lengan mamanya dan merebahkan kepala di bahu mamanya. Membuat Maretta yang tak mengerti apa alasan Satya melakukannya menjadi bingung.

"Satya- kenapa nak?" tanya wanita itu karena mendadak merasa atmosfer di sekitarnya saatini menjadi sendu.

Satya memejamkan mata. Jika dia bisa dia ingin terus memeluk mamanya seperti ini. Tapi jika memang tidak bisa, lalu dia hanya ingin mati dipelukan tangan ini. rasanya pasti lebih damai jika menghembuskan napas terakhir di pelukan mamanya ini.

THE BRIGHTEST STAR [END]Where stories live. Discover now