xxvii | galau

2.5K 632 98
                                    

"Lo kenapa sih sering banget ngelamun?" Bang Son bertanya dengan gusar saat melihat gue yang terduduk diatas kursi dan mata yang menatap tanpa minat kearah televisi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo kenapa sih sering banget ngelamun?" Bang Son bertanya dengan gusar saat melihat gue yang terduduk diatas kursi dan mata yang menatap tanpa minat kearah televisi.

Gue menghela nafas.

"Tuhkan-tuhkan, ini ke-sebelas kalinya lo hembusin nafas."

"Nggak ngembusin nafas berarti udah mokad gue bang."

"Nggak gitu." Bang Son berkacak pinggang. "Udah dua hari gue nggak liat lo pulang bareng sama Abian, berantem aja kerja lo kan? Mana pergi sekolah telat mulu, pulang cepet amat. Kagak produktif."

Duh gimana ya. Kalau gue pergi-pulang sekolah bareng Abian mah itu namanya nggak berantem. Lagian gue nggak minat baikan sama cowok itu di waktu yang dekat, gue udah terlanjur nggak mood, takutnya alih-alih berbaikan dan kembali mesra malah ada masalah baru yang muncul. Pacaran itu ada siklus dan konflik tersendiri, dan di kasus gue dan Abian kali ini gue ingin membiarkan kami untuk meresapi kesalahan masing-masing, ya meskipun gue masih menyalahkan Abian sepenuhnya. Ya nggak gimana, bisa-bisanya dia nggak menghubungi gue setelah kejadian senja itu?

Ah, apa dia lagi-lagi sedang berada dalam misi mencoba memahami gue?

"Aduh, sini lo ikut gue." Bang Son menarik lengan gue.

"Eh apa-apaan?!" Gue menepis nya.

"Ayo kerumah tante Erina, gue mau demo ama anaknya."

"Lebay lo, monyet."

"Alamak, malah gue yang dikatain. Lo tuh yang lebay, gara-gara cowok doang nganggurin nasi, kasian nasi nya sampai jadi kerak gitu rebahan diatas piring. Mana lo nggak pernah main sama gue lagi. Kiamat masih lama, Sya."

"Yeu siapa juga yang bilang udah mau kiamat?!"

"Udah-udah, jangan diganggu anaknya, Bang." Suara bunda melerai pertingkaian antara gue dan bang Son, pada kesempatan itu gue gunakan untuk menarik lengan gue yang semakin elestis sebab ditarik paksa. Bunda beralih tersenyum melihat gue, "Makan yuk, ayah pulang cepat hari ini, buru siap-siap."

Mata gue berpendar ke arah meja makan, disana sudah banyak menu makanan yang tersedia. Bunda masak? Wah, kiamat beneran deh kayaknya. Tapi karena gue nggak mau jadi ikan pari akhirnya gue menuruti perkataan bunda.

Selesai makan, gue langsung naik keatas. Ayah nggak bertanya apa-apa sebab gue nggak bertingkah aneh seperti uring-uring an karena memikirkan pacar yang nggak gue tau sama sekali apa kabarnya dua hari ini. Kangen Bian? Ya-iyalah, parah banget malah, mau nangis darah aja rasanya. Tapi rasa gengsi gue terlalu besar buat bertanya, ya lagian apa susahnya mendatangi rumah yang berjarak lima langkah?

ORBIT, JUNGWON ✓Where stories live. Discover now