vii | jogging

4.7K 1.1K 146
                                    

Hal yang paling gue sesali seumur hidup selain punya saudara usil seperti abang Son adalah menawarkan Abian buat main kerumah gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hal yang paling gue sesali seumur hidup selain punya saudara usil seperti abang Son adalah menawarkan Abian buat main kerumah gue. Bodoh, karena jelas Abian bakal nolak tawaran gue.

Namun besoknya Abian menyambangi rumah gue tepat 6 pagi, iya garis bawahi, jam 6 pagi. Nggak kebayang gimana ancurnya muka kebo gue dengan belek dimana-mana. Pengen banget rasanya memaki bunda yang udah nyuruh Abian buat bangunin gue pagi itu, tapi gue langsung bergidik membayangkan gimana membosankannya hidup menjadi seonggok batu.

"Ini sebagai gantinya karena gue nolak ajakan lo buat kerumah kemarin." Adalah jawaban Abian ketika gue menanyakan alasan dibalik kedatangannya pagi itu. Anyway, sekarang kita berdua lagi lari santai alias jogging.

Mengelilingi kompleks dengan handuk kecil yang mengelilingi leher ternyata nggak seburuk itu. Mungkin, lain kali gue bakal berusaha lebih sering bangun pagi buat jogging. Selain tubuh gue bugar, ternyata mata gue jadi ikut sehat. Gimana enggak? Hampir 20 menit berlari gue nggak berhenti natapin pemandangan Abian yang lagi keringetan disamping gue.

Doi sendiri mengenakan kaus putih yang setengahnya telah menggelap oleh keringat. Joggernya berwarna hitam, sama seperti gue. Kalau aja gue punya kemampuan inner telepati, gue mungkin nggak memakai kaus biru dan bakal couple an sama Abian.

"Udah capek?" Abian bertanya dengan kepala yang dimiringkan menghadap gue.

Banget.

"Nggak kok, masih kuat gue mah." Emang ya jiwa bucin ini selalu bekerja sama dengan mulut gue tanpa komando.

"Mau makan nggak?"

"Ayo!" Seru gue antusias. Selain perut gue keroncongan, gue juga lagi kangen makan bubur depan kompleks.

Dan bener dugaan gue, Abian menuntun gue kesana. "Pake kacang polong ga Sya?" Abian bertanya saat dia mengajukan diri buat memesankan makanan.

Gue ngangguk sambil senyum.

Setelah itu dia duduk, sedikit terengah-engah dengan surai yang basah. "Ambil nafas dulu Yan." Gue menyodorkan segelas air putih yang udah gue isi dari teko yang barusan gue minum.

Abian hanya menatap sodoran gue, "Ini bekas lo?" Gue mengangguk, Abian tersenyum. "Gue pake gelas sendiri aja deh." Tangannya mengambil gelas yang lain dan mengisinya penuh, kemudian meneguk dalam satu tegukan.

Jika ingin positive thinking, bisa saja Abian sedang menghindari ciuman lewat perantara yang konon katanya, mitos itu paling famous dikalangan anak seumur gue. Semoga aja begitu kan?

Jelang 5 menit pesanan sudah tersedia dihadapan kami berdua. Abian menyuruh gue mencicipi duluan, gue menurutinya, Abian justru memandang gue seolah hanya dengan melihat gue makan dia bakal kenyang. Gue salting sampai pengen salto, risih juga sih.

"Lo nggak makan Yan?" Akhirnya gue memberanikan diri untuk bertanya.

Dia tersentak, kemudian meraih sendoknya. "Sorry gue terlalu fokus liatin lo makan."

Gue tertawa canggung.

Bubur Abian telah tersisa setengah ketika dia kembali membuka topik. "Maaf soal gue yang ngajak lo balikan tanpa aba-aba kemarin."

Gue tersedak, nggak bohong, rasanya seperti semua bubur yang sempat gue kunyah membuncah ke rongga-rongga hidung gue. Panas banget. Abian khawatir. Tepat setelah beberapa detik setelah itu, rasa panas yang sempat menggorogoti saluran pernapasan gue mereda, gue pun menjawab.

"Loh buat apa maaf? Kan katanya lo bercanda."

"Gue beralasan doang Sya karena malu banget. Selain lo jawabnya lama, gue juga malu banget, masa sih baru ketemu udah minta ajak balikan."

Lagi-lagi gue tersedak, itu bukan sebuah skenario buat bikin gue serangan jantung kan?

"Sorry..." Cicit Abian lagi.

Gue berdeham panjang, kenapa ni bubur malah jadi kayak rasa gulali sih. Gawat, jangan-jangan gue diracunin lagi.

"Kalau gue jawabnya sekarang, kelamaan nggak?" Ntuh kata mencelos dari lidah gue dengan licin selicin lantai yang barusan di pel. Asal lo tau ini kesekian kalinya gue merasa jadi orang terbodoh seantero benua.

Abian cuma terkekeh. "Abisin dulu tuh bubur."

Sialan.

———

Semenjak kejadian jogging bareng hari itu, jelas Abian semakin dekat dengan gue. Kita berdua juga nggak kaku lagi buat melempar canda di lingkungan sekolah dan bahkan bukan suatu hal yang jarang jika kita kedapetan pulang bareng. Karena itu, gue rasa gue punya harapan untuk kembali mencintai Abian.

Iya, selama ini gue sedenial itu. Kata-kata dan hati gue memang punya tujuan yang berbalik. Namun gue rasa fase denial udah lebur bersama angin karena gue sudah mengakui perasaan gue dengan official; gue belum move on dan nggak berniat move on dari Abian. Nggak berniat? Nyatanya seperti itu, impuls otak gue menyatakan kalau gue nggak bisa lepas dari Abian. Mau Abian balik suka atau nggak, resiko emang selalu ada. Dan gue bakal menerima segala konsekuensi nya.

Walaupun nggak tau bakal sesakit apa gue suatu hari nanti.

"Sya, lo sekelompok sama siapa?"

Suara Dipta mengecoh lamunan gue. Ternyata pembagian anggota kelompok untuk pelajaran fisika sudah dibagikan rata oleh ketua kelas, gue noleh ke Dipta dan papan tulis secara bergantian.

"Coy, kita sekelompok loh? Ngapain nanya?" Kata gue heran. Ya masalahnya di kolom kelompok 3 itu ada nama lengkap gue terpampang jelas dibawah nama Dipta, kenapa si kunyuk ini malah nanya?

Dipta malah terkekeh. "Ngetes doang, abisnya lo senyam senyum mulu. Curiga lo nggak pernah sholat makanya jadi gampang kemasukan jurig."

Gue melotot. "Sembarangan! Gue sholat yaa!"

Si kunyuk yang punya badan setinggi tiang itu hanya tertawa. Jelang 10 menit kemudian bunyi bel menyesaki udara. Perut gue keroncongan parah, dan sialnya tadi pagi gue nggak sempat menyiapkan bekal. Akhirnya setelah sekian lama gue nggak pernah menginjakkan kaki kekantin, gue pun ketempat ramai itu ditemani Dipta.

Baru saja gue berniat memesan bakso yang sedang punya kuasa memenuhi BM gue siang ini, mata gue menangkap Abian yang sedang bercekcok dengan seorang perempuan. Gue yakin seratus persen itu si ketua osis, namanya kak Atiah, doi punya riwayat juara umum dan katanya separuh dari piala yang dipajang rapi di ruang guru berasal dari semua kejuaraan mengaji yang diikuti kak Atiah.

Ini gue lagi nggak dikasih cobaan dengan punya saingan seberat itu dalam mendapatkan hati Abian kan?

Kalau iya, gue mau mundur aja. Soalnya belum aja gue lomba ngaji dengan kak Atiah, gue hijaban selama sebulan penuh aja kayaknya bakal mengundang tanya remeh dari bang Son dan segenap keluarga gue.

Ya angin darimana coba gue tiba-tiba hijaban. Gue nggak bisa, sulit bagi gue buat mempertahankan hijab. Karena gue rasa gue nggak punya attitude yang baik buat disandingkan dengan kain suci yang mengepung rambut gue itu.

"Sya? Jadi pesen nggak?"

Yaampun gue sampai lupa ada Dipta disini.

"Jadi kok."

Setelah gue lihat ketempat tadi, kak Atiah udah nggak ada. Menyisakan Abian yang tengah digerogoti rasa bingung, terlihat dari alisnya yang bertaut. Abian kenapa?

———

sumpah masi ada ga si yg nungguin ni cerita? monmaap banget guys aku lg gada ide buat ngelanjutinnya huhuhu 😭

ORBIT, JUNGWON ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang