Chapter 4

2.2K 152 3
                                    

"Pasti Elang habis bertengkar ya! Lilin 'kan udah pernah bilang, jangan pukul-pukulan lagi. Nanti kalau sakit semua gimana?!" Lilin menjedanya sejenak lalu membuka kaos yang menutupi lengan suaminya.

"Ihh ini kok bisa dijahit kayak gini!!!" sambungnya dramastis saat melihat luka jahit dengan perban yang terbuka.

Pagi ini mereka berada di kamar untuk menghabiskan hari libur. Karena memang Elang sedang sakit, jadi tidak mungkin mereka menghabiskan waktu di luar. Ditambah lagi Lilin baru mengetahui kondisi Elang saat menjelang subuh. Banyaknya pikiran dengan suasana hati yang buruk membuat Lilin tidak fokus dengan sekitar, termasuk dengan keadaan Elang.

"Namanya juga kena tusukan, ya jelas harus dijahit. Lo 'kan tau, kalau hal kayak gini udah biasa buat gue," jelas Elang.

Lilin sedikit berdecak. "Tapi tetep aja nggak boleh! Tunggu di sini! Jangan kemana-mana!" Ia beranjak dari atas ranjang dan meninggalkan ruangan.

"Mau ngapain lagi nih anak," gumam Elang.

Setelah 30 menit, akhirnya Lilin kembali sembari membawa nampan di tangan kanannya yang berisi baskom kecil, minuman, dan makanan dengan menenteng kotak obat di tangan sebelahnya.

"Lo ngapain aja sih? Lama banget!" Elang menatap barang-barang yang dibawa oleh Lilin.

"Bikinin Elang makanan," jawab Lilin lalu meletakkan barang-barangnya di atas nakas.

Elang menengok isi piring tersebut yang ternyata berisi nasi dan telur ceplok. "Gila! Lo habisin waktu setengah jam cuma buat masak telor ceplok doang?"

Lilin terdiam sejenak lalu mengangguk. "Iya, itu aja susah masaknya. Elang nggak suka ya?" tanyanya hati-hati.

Cowok itu menghembuskan nafasnya kasar. "Lagian mana ada orang yang suka makan nasi sama telor ceplok doang. Tapi yaudah lah, nggak pa-pa. Mana?"

Lilin menunduk. "Biar Lilin yang suapin."

Mendengar itu membuat Elang tertawa. "Lo yakin mau suapin gue? Hahaha, ngelawak lo? Hahaha makan sendiri aja nggak bisa. Beban keluarga, hahaha. Sorry-sorry, becanda."

Siapapun pasti tahu bagaimana perasaan Lilin saat ini. Baru saja tadi malam mereka baikan. Tapi lihat, semua itu hanya bertahan sementara. Dan selalu saja begitu.

Lilin mencoba tersenyum agar tidak menangis sesuai keinginan Elang semalam.

"Lilin cuma mau jadi istri yang baik. Makan ya, nanti kalau udah kita kompres memarnya Elang."

Elang mencoba menghentikan tawanya. "Iya deh terserah lo. Tapi lucu aja gitu, lo yang nggak bisa makan sendiri, tiba-tiba mau nyuapin gue."

Gadis itu tak bergeming, tenggorokannya yang tercekat membuat dirinya susah menjawab. Belum lagi kepalanya yang terasa pening karena menahan air mata.

Lilin mengambil mengambil piringnya sembari duduk di sebelah Elang. Ia mulai mengambil sendok, lalu mengisinya dengan makanan, dan mulailah ia menyuapi suaminya itu.

"Kurang asin sih, tapi nggak pa-pa. Tangan lo juga kaku banget pas nyuapin gue. Santai aja kali," papar Elang setelah mendapatkan suapan pertama dari Lilin.

"Mau Lilin ambilin garem?"

Elang menggeleng. "Nggak usah."

Cowok itu pun terus memakannya hingga tandas. Setelah makanan habis, Lilin lantas mengompres memarnya dan mengganti perbannya.

"Elang," panggil Lilin.

Elang mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah Lilin.

Mata mereka bertemu, getaran-getaran aneh mulai Elang rasakan. Namun ia mencoba untuk menepis itu. Ia tidak boleh jatuh cinta sebelum Lilin menjadi istri yang baik untuknya. Jika tidak begitu, maka sudah dipastikan kalau nanti dirinyalah yang repot mengurus Lilin. Dan itu tidak boleh terjadi, ia terlahir bukan untuk disuruh-suruh, apalagi oleh istri sendiri.

"Elang jangan pukul-pukulan lagi ya. Lilin nggak suka liatnya. Nggak tau kenapa, setiap kali liat Elang sakit, Lilin jadi ikutan sakit. L-Lilin nggak mau hiks ... Elang sakit." Lilin yang menyadari dirinya telah menangis langsung menghapus air matanya.

Gadis tersebut menatap Elang. "Maaf, Lilin janji nggak bakal nangis lagi nanti."

Pendengaran Elang seolah tuli, ia masih saja terhipnotis dengan iris hitam itu. Tatapannya, ucapannya, semua terlihat dan terdengar sangat tulus. Namun sedetik kemudian ia mengalihkan pandangannya.

"Eum, Lilin boleh minta izin?" tanya Lilin.

"Kemana?"

"Mau ke rumah abi umi. Lilin kangen mereka. Tapi Elang nggak usah ikut. Lilin bisa naik ojek online. Cuma bentar kok, boleh 'kan?" tanya Lilin harap-harap.

Elang berpikir sejenak, saat ini badannya terasa sakit, tangannya juga sedikit kaku untuk menyetir. Karena tidak ingin mengambil risiko, akhirnya ia pun menyetujui keputusan Lilin barusan.

****

"Elang kok nggak ikut? Kemana?" tanya Sarah, umi Lilin.

Lilin menghembuskan nafasnya sejenak. "Elang lagi sakit. Lilin kangen sama kalian, jadi Lilin kesini sendirian."

Saat ini Lilin sudah berada di rumah yang sudah hampir 18 belas tahun ia tinggali. Rumah yang begitu banyak kenangan dan memori indah yang tidak akan terlupakan. Rasa-rasanya Lilin ingin kembali seperti dulu. Namun Lilin sadar, bahwa semua yang telah terjadi adalah sebuah takdir yang telah Allah tentukan.

"Udah tau suaminya sakit, terus kenapa kesini? Kasian Elang sendirian."

Lilin cemberut. "Kan cuma sebentar."

"Iya, iya,"pasrah Sarah.

Tidak lama kemudian Lilin menatap dalam uminya.

Sarah yang ditatap seperti itu tersenyum lembut. "Kenapa?"

"Mau peluk."

Mendengar itu membuat Sarah terkekeh. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nada manja anaknya, dan tentu saja ia merindukannya. Apalagi Lilin anak satu-satunya.

"Sini, sini."

Lilin pun mendekat lalu membaringkan tubuhnya, kepalanya ia letakkan di atas paha Sarah sebagai bantalnya.

"Umi sama abi pasti nyesel ya, punya anak kayak Lilin?" tanyanya seraya memeluk pinggang Sarah dengan erat.

Sarah sedikit terjekut mendengarnya. "Ya enggak lah! Ngapain kamu ngomong gitu?"

Gadis tersebut menggeleng. "Nggak pa-pa. Lilin cuma tanya aja. Lilin kangen sama Umi. Lilin pengen dipeluk Umi terus, kalau bisa selamanya. Umi marah nggak, kalau Lilin manja-manja kayak gini? Maaf ya, kalau Lilin cuma bisa nyusahin kalian," lirihnya sembari menahan tangis.

Katakanlah Lilin ini cengeng, tapi memang itulah dirinya. Ia merasa tidak kuat dengan ini semua. Dikatakan cengeng, manja, dan merepotkan membuat hatinya tersakiti. Apalagi yang berkata seperti itu adalah orang yang sudah sejak bayi bersamanya.

"Umi nggak marah sayang, justru Umi seneng kalau kamu manja-manja kayak gini," ucap Sarah tulus.

Lilin mendongak. "Beneran?"

"Iya."

Sarah lantas menatap anak satu-satunya itu. "Lilin harus bisa jadi istri yang membahagiakan suami ya. Kalau seandainya kalian ada masalah, selesaikan semuanya dengan kepala dingin."

Entah benar atau tidak, Sarah merasa ada sesuatu yang telah terjadi dengan anaknya. Ia sangat tahu, jika Lilin tidak pernah seperti ini. Namun apapun yang terjadi, semoga Lilin bisa menyelesaikannya sendiri tanpa campur tangannya dan suaminya.

"Hm. Abi kemana?"

Sarah mengusap lembut kepala anaknya yang masih tertutupi jilbab. "Lagi keluar sebentar, ada urusan."

Lilin hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia kembali menikmati tempat ternyaman keduanya setelah Allah. Biarlah seperti ini, sampai nanti ia akan kembali untuk dituntut menjadi dewasa dengan cara yang menyakitkan baginya.

Btc

Rasael [Completed]Where stories live. Discover now