Chapter 5

2.2K 146 0
                                    

Pagi telah kembali menyambut bumi. Begitu juga dengan manusia yang kembali disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing.

Kini Lilin sudah siap dengan seragam sekolahnya. Sembari menunggu Elang yang tengah bersiap-siap, ia mendudukkan dirinya di kursi. Helaan nafas selalu ia lakukan. Sesuatu yang terasa kurang membuatnya merasa tidak nyaman.

Sesuatu itu adalah sebuah pelukan. Sebelum ia menikah, orang tuanya selalu bersedia untuk memeluknya disetiap pagi. Dan itu sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil. Bukan orang tuanya yang mengajari, tapi memang itu permintaannya sendiri.

Tapi semenjak pernikahan ini terjadi, dirinya tak lagi mendapatkan pelukan hangat. Mengingat bagaimana prilaku Elang padanya, membuatnya ragu untuk meminta.

"Mau langsung berangkat?" tanya Elang yang menyadarkan lamunannya.

Lilin menatap ke arah Elang. "Elang," panggilnya sedikit ragu.

Elang yang sudah siap dengan seragamnya ikut mendudukkan diri di sebelah Lilin.

"Apa?"

Gadis itu memilin rok abu-abunya, ia merasa bingung harus berkata seperti apa. "Boleh minta peluk?"

"Mulai sekarang kebiasaan yang bikin lo manja itu harus dihilangin. Jangan dijadiin kebiasaan," jawab cowok itu.

"Tapi Lilin udah biasa dipeluk setiap pagi. Umi abi juga nggak pernah keberatan waktu Lilin minta dipeluk. Emang salah ya?" tanyanya lagi seraya menunduk.

"Lilin cuma pengen peluk," sambungnya lirih.

Elang menghembuskan nafasnya. "Sekarang gue tanya. Apa hidup tanpa pelukan bisa bikin lo pingsan?"

Lilin menggeleng dengan air mata yang mulai menggenang. Ia bingung, sebenarnya apa yang diinginkan oleh Elang? Kenapa harus dirinya yang selalu mengikuti keinginannya? Apakah sesusah itu untuk Elang memeluknya? Apa Elang merasa jijik dengan dirinya?

"Elang kayaknya jijik banget ya sama Lilin."

Cowok itu menggeleng tak setuju. "Bukan jijik. Buat apa jijik sama istri gue sendiri. Gue cuma mau ngasih tau, kalau semua yang kita inginkan nggak harus selalu kita dapatkan. Lagian kebiasaan lo itu alay tau nggak."

Ia menatap Lilin yang sepertinya ingin menangis. "Jangan dikit-dikit nangis! Belajar jadi perempuan yang tahan banting. Dunia itu kejam, Lin! Kalau lo kayak gini terus, siapa yang akan jaga lo dari dunia yang keras ini suatu saat nanti?!" geramnya.

Lilin menatap Elang. "Berati kalau Lilin udah berubah, Elang bakalan ninggalin Lilin, gitu?"

"Lo ngomong apaan sih, Lin!" sentak Elang.

Cowok itu merasa pembicaraan mereka sudah terlalu jauh dari pembahasan awal.

"Bisa nggak sih jangan besar-besarin masalah?!" lanjutnya bertanya dengan frustasi.

Membesar-besarkan masalah? Bukankah permintaan Lilin sangat mudah untuk diwujudkan? Lalu kenapa Elang berkata seperti itu? Seberapa susah dan ruginya Elang sampai tidak mau memeluknya?

Tidak ingin memperpanjang lagi, Lilin segera berlari meninggalkan Elang yang berteriak memanggil namanya. Namun ia terus berlari tanpa menggubris panggilan itu.

****

"Ini mau ke rumah orang tua lo dulu, kan?" tanya Dania yang tengah membonceng Lilin dengan motor Varionya.

"Iya, tolong anterin sebentar ya. Nanti Dania bisa langsung berangkat, nggak usah nungguin Lilin. Biar nggak telat," sahutnya sedikit keras.

Mereka berdua tidak sengaja bertemu di pinggir jalan. Karena Dania tahu jika Lilin sedang menunggu angkutan umum, maka ia mengajak Lilin untuk berangkat bersama dengannya. Tentu saja Lilin menerima itu. Sebenarnya Dania ingin bertanya sesuatu, namun ia mengurungkannya. Karena ia tahu, jika sahabatnya juga membutuhkan privasi.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Aug 10, 2023 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

Rasael [Completed]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora