11

830 217 13
                                    

Sepuluh menit berlalu dan Hana hanya menghabiskan waktunya untuk menatap sebuah kotak  pos bernomer 1013. Pertama kali mencoba memasukkan kunci itu ke dalam lubang dan ternyata pas, dia memang senang dan lega, tetapi dia tidak mengambil langkah lebih jauh setelah itu. Dia hanya berdiri di sana sementara terjadi perang dalam dirinya. Kepala dan hatinya tidak mau berhenti beradu tentang hal yang sama berkali-kali.

Si hati terus saja menuduhnya tidak berperikemanusiaan jika dia tidak mengambil langkah lebih lanjut. Hal ini bukan lagi hanya menyangkut kakaknya, tetapi bisa menjadi penentu nasib cewek lain yang mungkin sedang menjadi korban orang yang menghamili Eliz dan membuatnya bunuh diri.

Bagaimana kalau cowok itu adalah Feliko.

Alasan kuat lain yang membuat Hana harus membuka kotak itu dan melihat isinya.

Sementara itu, kepalanya terus menolak untuk terlibat dengan urusan apapun yang Eliz tinggalkan. Selama ini Hana hidup tentram dan damai dengan sesuka hati tanpa ikut campur masalah orang lain dan sebaiknya dia tidak mulai hal itu sekarang. Walaupun mungkin Feliko terlibat di dalamnya, sebaiknya tidak lagi diungkit. Waktu akan menyembuhkan lukanya saat kakaknya itu sudah bisa merelakan Eliz. Dari pada mengurusi urusan orang mati, lebih baik Hana mengurusi surat yang harus ditulisnya untuk Biru.

Hana menghela napas lalu berbalik badan. Berjalan menuju pintu keluar, dia menghentikan langkah ketika melihat Anggi keluar keluar dari dalam kantor pos. Dia membalik badan dengan cepat lalu bersembunyi, berjongkok di balik sebuah pot besar kosong terbuat dari semen. Dia mengintip dari sana, mengamati Anggi keluar menuju jalan raya, was-was namun juga ingin melihat Biru, tapi ternyata Anggi memberhentikan sebuah taksi biru. Hana bernapas lega.

Terbesit di pikirnanya, kalau Biru masih mengantar dan menjemput Anggi, dia hendak membatalkan menulis surat untuk cowok itu. Mengelus dada, Hana tersenyum lebar.

Hana berdiri, mengamati pintu kantor pos yang tertutup, berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk masuk. Di menghampiri satu-satunya oetugas yang tidak sedang melayani pelanggan.

"Permisi, Pak."

"Ya, ada yang bisa saya bantu?"

"Eem ... Itu, waktu sewa untuk kotak pos dengan nomor 1013 tinggal berapa bulan, yah?"

"PO Box 1013?" Hana mengangguk. "Tunggu sebentar, saya periksa." Petugas itu menatap layar komputer di deoannya semntara kedua tangan dengan cekatan menekan tombol-tombol pada keyboard. Tidak butuh waktu lama bagi Hana untuk mendapatkan jawabannya. "Tinggal satu minggu lagi."

Rahang Hana hampir jatuh ke lantai, melongo menatap petugas pos yang kebingungan melihat reaksi remaja di depannya.

Hana berpikir beberapa saat. Dia bisa saja memperpanjang waktu sewa kotak itu jika dia memutuskan untuk tidak mengambil apapun yang Eliz tinggalkan di sana, tetapi akan sampai kapan? Pada akhirnya dia yang memiliki tanggung jawab akan dibawa kemana wasiat si Eliz ini.

Tunggu sebentar.

Kalau dia tidak mengambil barang-barang Eliz, apa yang akan terjadi dengan mereka? Apakah dibuang atau dikirim ke alamat rumah Eliz yang tercantum dalam formulir saat menyewa kotak pos? Bagus kalau dikirim ke rumah Eliz, tapi bagaimana kalau dibiarkan menjamur di gudang pos?

"Kalau Adek masih memiliki barang atau surat-surat di dalam kotak pos, lebih baik segera diambil. Karena jasa kotak pos akan segera ditiadakan."

Bahu Hana langsung turun. "Kenapa?" tanyanya. Nada suaranya seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup.

"Jaman internet sudah berkuasa, Dek. Yang old-old mengundurkan diri."

Benar juga. Jaman sekarang, siapa yang masih berkirim surat fisik? Semuanya sudah dikirim menggunakan surat elektronik yang praktis dan tidak perlu keluar rumah, adapun pengiriman barang yang tidak mau langsung ke alamat rumah mereka yang asli bisa menyewa jasa penyewaan loker.

Harusnya kantor pos bisa upgrade, mengikuti jaman, dibiarkan saja jasa itu tetap ada dengan sistem kerja yang berbeda, kenapa harus ditiadakan?

Mengucapkan terima kasih, dengan lesu dan diiringi helaan napas setiap langkahnya, Hana kembali keluar kantor pos dan menghampiri rentetan kotak-kotak pos berwarna abu-abu yang sudah tua dan karatan. Berdiri kembali di depan kotak dengan nomor 1013, Hana mengeluarkan kuncinya dan dimasukkan lagi ke dalam lubang lalu memutarnya. Terdengar bunyi klik-klik dua kali sebelum pintu kotak itu kemudian ditarik oleh Hana.

Mengintip ke dalamnya, Hana terkesiap melihat isinya. Dia segera menyalakan senter pada ponsel, memasukkan ponselnya pada loker, lalu merapatkan wajahnya ke pintu loker, menghalangi siapa pun yang lewat untuk melihat isinya. Ada setumpuk surat dengan amplop warna coklat, bros bunga cala lili, DAN SEBUAH IPHONE 10 dengan case bening serta photocard Jimin dan Jungkook dari MOTS: PERSONA menghiasi bagian belakang ponsel itu.

HARTA KARUN BENERAN!

Hana mengeluarkan kepalanya lalu melirik kanan dan kiri sebelum dengan cepat memindahkan isi kotak itu ke dalam tasnya lalu pergi dari sana seperti maling yang sedang melarikan diri.

***

"Niiing, sayangku. Lo tahu alamat rumah Kak Eliz, nggak?"

Memindahkan barang-barang ke sebuah paper bag, Hana menghubungi Ning. Dia memang mengambil barang-barang Eliz, tetapi dia memutuskan untuk menyerahkannya langsung pada keluarga gadis malang itu. Dia juga sudah pasrah dengan nasib kakaknya. Kalau memang kakaknya itu terlibat, dia harus dihukum. Mungkin Feliko akhirnya akan lega jika bisa dihukum orang lain karena ternyata dia tidak kapok-kapok jika menghukum dirinya sendiri dengan selalu mabuk-mabukan dan berkelahi sampai hampir sekarat.

Hana menghela napas mengingat kejadian kemarin malam, saat dia pulang les dan menemukan kakaknya tergeletak di depan pintu gerbang, babak belur dan darah di mana-mana. Seharian kakaknya itu tidak keluar kamar, bahkan saat ditinggal Hana ke kantor pos, dia tetap tidur.

"Ndak. Why?"

"Nggak apa-apa. Cuma mau ngembaliin novelnya itu."

Terdengar dengkusan Ning. "Novel bajakan seperti itu mau lo balikin ke kaluarganya yang kaya raya? Pasti langsung dibuang."

"Heh. Jangan gitu lo. Peninggalan orang yang udah nggak ada, walau barang murahan dan nggak ada harganya, bagi orang terdekat biasanya menjadi sangat berharga."

"Iya juga, sih. Lagian lo pasti ngerasa nggak enak, merasa dihantui." Ning terkekeh.

"Tuh, tahu."

"Ntar gue coba tanya Om Riskan, deh."

Om Riskan, atau di sekolah dipanggil Pak Riskan, adalah adik dari ayahnya Ning yang bekerja di kantor TU sekolah.

"Sangkyu, beb."

"Hm."

***

Hana menghela napas panjang untuk kesekian kali. Dia baru duduk selama sepuluh menit di kursinya tetapi helaan napasnya sudah tak terhitung berapa banyaknya. Biru sampai meliriknya berkali-kali.

"Kalau masalahnya terlalu berat, boleh meminta tolong."

Hana tersenyum manis. "Terima kasih sudah menawarkan diri, tapi kayaknya kali ini Biru nggak bisa membantu."

"Aku nggak menawarkan diri untuk membantu juga. Aku hanya memberi ide."

Senyum manis itu hilang dari wajah Hana, berganti wajah sebal lalu dia membuang muka. "Payah," gerutunya lalu menghela napas lagi.

Ning berhasil mendapatkan alamat rumah Eliz. Namun, ketika Hana menyambangi rumah besar berlantai tiga yang memiliki sebuah taman luas di depannya, rumah itu kosong, sebuah spanduk pengumuman bahwa rumah itu dijual menggantung di pagar gerbang tinggi berwarna emas. Menurut satpam komplek yang berjaga, rumah itu sudah kosong lama, mereka pindah tidak lama setelah putri mereka meninggal. Pindah entah ke mana.

Hana melirik tasnya yang lebih berat dari biasanya. Terpikir olehnya untuk menyerahkannya ke pihak sekolah, tetapi saat sampai di sekolah, melihat tempat Eliz mendarat dulu, dia menjadi ragu. Terpengaruh Ning, berbagai teori tentang sekolah yang tidak ingin keburukannya terungkap, melintas di kepala.

Hana menenggelamkan kepala pada dua lengannya yang terlipat di atas meja lalu menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. Sepertinya dia harus terjun sendiri ke kubangan lumpur masalah.

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang