15

1K 217 19
                                    

Dengan wajah pucat, pandangan kosong, dan napas memburu, Eliz berjalan linglung keluar dari rumah bercat kuning telur dengan nomor 19. Tangannya tak henti berusaha mengeratkan blazer yang dipakai di atas seragam sekolahnya. Cengkeraman kuat itu membuat buku-buku jarinya memutih.

Dia mengatupkan rahangnya kuat-kuat untuk menahan tangisnya agar tidak keluar. Mungkin seharusnya dia tahu hal ini akan terjadi, tapi sebelum datang ke rumah itu dia pikir Lukman akan bisa mengontrol tangannya mengingat di rumah itu ada istrinya. Dia tidak menyangka kalau istri Lukman buta dan tidak bisa mengetahui kelakuan suaminya yang bejat di belakang punggungnya. Mereka benar-benar duduk di belakang istri Lukman yang sedang membaca di ruang tamu rumah itu.

Eliz berhenti berjalan, menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu mulai tersedu. Dia pintar dalam akademis, tetapi kenapa dia bodoh sekali dalam situasi seperti ini? Harusnya dia langsung lapor ke pihak sekolah atau polisi saja sejak awal.

"Elizabeth?"

Eliz berhenti menangis saat mendengar suara familier dari depannya.

"Ngapain kamu di sini?"

Eliz menyumpahi semesta. Kenapa dia harus mendengar suara kesukaannya itu di saat seperti ini? Kenapa orang itu harus mengenalinya padahal dia sudah menutup wajahnya? Kenapa suaranya terdengar begitu senang?

"Hei. Are you okay?" Sekarang suara itu terdengar khawatir.

Eliz menurunkan tangan dari wajahnya dengan pelan. Mata merah dan wajah basah air mata, dalam kekaburan dia menatap datar orang di depannya.

Wajah tampan itu terlihat panik sekarang. "What's wrong?" Feliko mendekat, mengangkat tangan untuk menyentuh wajah basah Eliz tetapi dia hentikan di tengah jalan. "Apa ada yang sakit? Seseorang menjahatimu? Siapa? Kamu dari mana?"

Eliz tak menjawab satu pun pertanyan beruntun itu, dia hanya terus menatap Feliko dalam diam.

"Kalau kamu diam aja, aku nggak tahu harus gimana? Apa yang harus aku lakukan, hah?"

Alih-alih menjawab pertanyaan cowok itu, Eliz malah balik bertanya, "Ngapain juga kamu di sini?" Dia tidak mau membayangkan kalau guru mesum itu doyan laki-laki juga.

"Oh. Rumahku ada di komplek ini, di ujung jalan." Feliko meneliti Eliz dari ujung kepala sampai ujung kaki. Semuanya terlihat baik-baik saja. "Kamu kenapa nangis?"

Lagi-lagi Eliz tidak menjawab, dia hanya manatap Feliko tanpa berkedip. Rasa badannya tidak enak. Perutnya langsung terasa mual setiap kali membayangkan keringat orang gila itu menempel di tubuhnya. Dia perlu mandi, menghilangkan sisa-sisa jejak kotoran menjijikan yang menempel, tetapi kalau tiba-tiba mengatakan pada Feliko dia ingin numpang mandi akan terdengar aneh.

Kruyuk. Kruyuk.

Terdengar suara dari dalam perutnya. Feliko mengulum senyum.

"Lapar?" Eliz mengangguk. "Mau ke rumahku? Adikku bilang dia bikin es buah dan kwetiau goreng. Walau masih kecil tapi masakannya cukup lumayan, loh, adikku itu."

Perutnya sudah memberikan jalan keluar, dia tidak boleh menyia-nyiakannya. "Bolehkah?"

"Kalau nggak boleh, aku nggak akan ngundang kamu. Let's go." Feliko melanjutkan langkah yang sempat terhenti sambil mendribel bola basket di tangan, memimpin jalan menuju rumahnya.

Eliz meragu. Bagaimana kalau ternyata Feliko bertetangga dengan Lukman? Dia sungguh tidak ingin melihat rumah setan itu lagi.

"Berapa nomer rumahmu?"

"32."

Mendengar itu Eliz langsung menyusul langkah Feliko dan hampir berlari mendahului cowok itu ketika melewati gang komplek di mana rumah Lukman berada.

Rumah Feliko berada di jalan buntu, paling ujung komplek itu. Cat rumah berwarna biru muda yang halaman rumahnya terlihat gersang, tanpa tanaman yang menghiasi, tidak  seperti halaman rumah tetangga-tetangga mereka yang terlihat hijau.

"Ah. Rumah baru. Belum bisa numbuhin tanaman," kata Feliko, menjawap keheranan yang terpancar dari mata dan wajah cewek yang diajaknya pulang itu. "Silakan masuk."

"Permisi."

Eliz melewati Feliko yang membukakan pintu untuknya dan langsung berhadapan dengn seorang remaja perempuan dengan dua kunciran rambut di atas kepalanya.  Dua kunciran itu berdiri tegak seperti antena dengan ujungnya diberi lonceng. Eliz hampir tertawa.

"Kamu kesurupan, ya, Dek?" Feliko menarik salah satu rambut yang terkuncir lalu menariknya ke dapur, mengabaikan seruan protes dari adiknya.
 
Tersenyum, Eliz mengikuti mereka.

"Aku kalah taruhan, jadi aku harus jadi elien." Kedua tangan adik Feliko membuat pose antena tambahan di depan kuncirannya lalu matanya menemukan Eliz. Dia terkesiap kemudian segera memutar badan memunggunginya.

"Ada tamu itu disapa, bukan malah dipantati. Dasar nggak sopan." Feliko menarik terlinga adiknya. Pada Eliz dia mengatakan, "Ini adikku, Hanabi. Di sekolah, sih, pada manggilnya Hana Banana."

"Ah." Eliz menganggukn kepala. "Aku ingat. Aku pernah melihatmu."

Tertawa canggung, Hana melambaikan tangan. "Salam kenal."

Setelah perkenalan selesai, Feliko meminta Hana menjamu Eliz dengan makanan yang sudah dibuatnya sementara dia pergi mandi sebentar. Hana mengiyakan dan mulai mengambilkan es buah dan kwetiau untuk Eliz.  Eliz mendengarkan dengan seksama di tempat duduknya. Saat terdnegar pintu tertutup di lantai atas, dia segera berdiri.

"Boleh nggak gue numpang mandi? Rasanya gerah banget."

"Ah. Kakak bisa mandi di kamarku. Kamar mandi bawah masih belum berfungsi showernya."

Hana lalu mengantarkan Eliz ke kamarnya, meminjamkan handuk lalu kembali turun ke bawah setelah memberi tahu Eliz kalau dia bisa meminjam bajunya juga, memyurihnya memilih sendiri yang pas di badannya.

Tidak sabar untuk segera menghilangkan jejak kotor di tubuhnya, tanpa melepas baju, Eliz segera berdiri di bawah pancuran air dingin yang mengucur deras menghantam wajahnya. Dia kembali menangis sembari melepas baju dan menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan keras sampai kulitnya memerah. Dia tidak ingin ada apapun yang tertinggal di sana,  tidak ingin ada jejak lelaki itu yang tersisa.

Namun, seberapa keras pun dia menggosok, bahkan mungkin sampai kulitnya terkelupas, jejak di pikirannya tidak akan bisa hilang. Jejak di sana yang paling membuatnya marah dan jijik, tapi dia tidak bisa menghilangkannya walau sudah berkali-kali dia membenturkan kepala.

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang