EMPAT

2.6K 198 8
                                    

Jose POV

"Pras..."

"Kamu harus hidup, J!" sentaknya. Aku menelan ludah keras, air mataku kembali mengalir. Kutatap wajah lelah Prasaja. Tidak ada jaminan dia akan hidup setelah ini. Andra pasti membunuhnya. Kupeluk tubuhnya erat. "Ambillah." Prasaja memberiku sebuah plastik.

"Apa ini?"

"Kamu ingat tabunganmu bukan? Karena surat kematianmu dengan cepat terbit, aku bisa mencairkannya dan memasukkannya pada rekening lain. Kamu hanya perlu ke ATM terdekat dan mengambil dana di sana semenjak kamu tak memiliki identitas."

"Terima kasih." Ucapku terbata oleh isak tangisku. "Terima kasih." Ulangku.

Prasaja memelukku. "Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai kakak. Maaf tidak bisa membelamu di depan Andra."

"Tidak... semuanya ini memang sudah terjadi."

Suara tembakan terdengar dari kejauhan. "PERGILAH!" Perintah Prasaja mendorong tubuhku keras. Aku menoleh untuk terakhir kali dan melihat lambaian tangan perpisahan Prasaja dengan sebuah senyuman hangat.

Aku terus berlari dengan sekuat tenaga. 'Hiduplah, J. Hiduplah'... hanya kata-kata itu yang terus terngiang dikepalaku. Entah berapa lama aku terus berlari hingga aku merasakan perih di sepuluh jemari kakiku. Aku menoleh kiri dan kanan dengan napas terengah-engah. Dari kejauhan aku melihat mobil berjalan lambat.

Aku bersembunyi diantara rumput dan melihat jika mobil itu adalah pick-up. Aku mengejarnya dengan sekuat tenaga dan meraih bagian belakangnya. Aku berhasil menaikinya dan duduk dikelilingi banyak buah. Mobil ini pasti menuju pasar.

Aku meraih sebuah plastik yang tergeletak diantaranya dan memasukkan beberapa apel dan pisang. Aku merongoh kantong dan memaki didalam hati karena tidak memiliki uang cash. Aku tidak ingin mencuri tetapi aku tidak memiliki dana. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan setelah ini. Aku harus bersembunyi.

Sembari berpikir keras, aku lambat menyadari jika kami telah tiba dipasar. Aku melompat turun dan mengingat nomor plat mobil ini. Aku ingin membalas jasanya jika sudah memiliki cash. Aku segera bersembunyi dibalik bangunan dan beristirahat sejenak.

Kesedihan setelah perpisahan tragis dari bos dan Prasaja terang membuatku sangat terpukul. Mereka orang-orang baik tulus yang benar-benar mengasihiku sebagai keluarga. Tanganku terkepal erat. Selamanya aku tidak akan memaafkan Andra.

Menjelang siang, panas matahari terik membuatku kelelahan. Aku sudah menggenggam beberapa uang tunai ditanganku. Aku kembali menyusuri pasar dan meletakkan beberapa lembar uang di dalam mobil pick-up tersebut bersama sebuah kertas bertuliskan ucapan terima kasih.

Aku mengambil kertas dan meminjam alat tulis saat berjalan mengambil uang disalah satu ATM terdekat. Sekarang aku hanya perlu memiliki identitas baru. Kertas yang diberikan bos untuk terakhir kali adalah kunci untukku memulai kehidupan baru.

Tetapi aku tidak bisa pergi begitu saja dengan gegabah. Terlebih saat ini Andra masih berkeliaran begitu saja. Jika melihat alamatnya pun, tempat ini membutuhkan waktu lama untuk tiba di sana. Bisa menghabiskan dua hari menggunakan jalur darat. Aku belum memiliki identitas untuk menaiki pesawat.

Aku segera berjalan dideretan pakaian yang terjual dan memilih membelinya. Aku ingin mengganti pakaian lamaku agar tidak terlacak. Topi dan jaket hoodie yang kukenakan memiliki topi dan ruang luas untuk menyembunyikan cash yang kubungkus dengan kantong plastik.

Melihat banyak penjual berusia paruh baya, pikiranku berlabuh pada pasangan suami istri Karno dan Sumi yang telah menyelamatkanku. Area pemukiman mereka tidaklah ramai dan cenderung tertutup. Apa sebaiknya aku berlindung di sana?

Hatiku semakin mantap menjelang malam. Aku menaiki angkutan umum dan menuju ke alamat tertuju. Karena postur tubuhku yang tinggi dan besar, aku memang mudah dikenali. Itulah mengapa aku memilih berangkat saat malam agar tidak banyak penumpang yang melihatku.

Aku pun memilih berjalan kaki kearea pemukiman itu untuk menghindari hal yang mencurigakan. Aku melirik jam yang baru saja kubeli untuk memudahkanku bergerak secara teratur. Waktu menunjukkan pukul 3 subuh. Aku sudah berjalan kurang lebih 1,5 jam. Hitung-hitung ini adalah olahraga bagiku. Matahari mulai terbit saat aku tiba di depan pintu rumah Pak Karno. Istrinya, Sumi membukakan pintu dengan wajah berseri.

"Nak?"

"Hai, Bu."

"Masuklah, kamu pasti kedinginan. Ibu siapkan minuman hangat."

"Paman kemana?"

"Paman sedang melaut, nanti malam akan kembali." Aku mengangguk paham dan duduk mengistirahatkan tubuh. "Minumlah."

"Terima kasih." Tuturku tulus. Sumi tersenyum lembut.

"Kamu akan selalu diterima di sini."

Aku menelan ludah keras, "Aku seorang yatim piatu, Bu. Dan..."

"Kita semua orang terhilang, Nak. Kami tidak memikirkan hal seperti itu." jawabnya bijaksana. Aku kembali diliputi haru mendengar perhatian tulusnya. Aku bersyukur diberikan orang-orang yang baik.

Menjelang malam, Karno memasuki rumah saat aku membantu Sumi menyiapkan makanan. Wajah Karno pun ikut berseri dan memelukku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasakan pelukan sayang. Sebelumnya, bos selalu memberikanku pelukan hangat saat kembali dari misi penting. Setelah pertemuan kembali penuh haru itu, kami makan dalam diam.

Hari demi hari terlewati cepat. Diwaktu itu aku membantu Karno melaut dan berolahraga memulihkan fisikku yang sebelumnya terluka. Aku juga mengumpulkan beberapa informasi dari televisi yang berada di kantor desa yang berjarak 30 menit dari pinggir pantai.

Meski jauh, aku tidak boleh buta akan kemajuan sekitar. Beberapa aliansi dan lawan dari bosku adalah orang-orang berpengaruh. Tidak sedikit dari mereka justru orang berjabatan tinggi. Bos biasa menerima pekerjaan sebagai pesuruh. Itulah mengapa aku mengetahui seluk beluknya dan beberapa transaksi penting berada ditanganku.

Setengah tahun berlalu dengan duka. Sumi dilanda sakit dan tidak dapat diselamatkan. Karno dan aku membawanya menuju puskesmas bahkan rumah sakit rujukan namun kondisi Sumi sudah parah sebelumnya. Kanker rahim yang dideritanya selama ini ternyata tidak pernah dihiraukan dan menjadi semakin bermasalah.

Kehilangan belahan jiwanya membuat Karno terpukul hebat. Berminggu-minggu terlewati dengan berkabung. Akhirnya Karno mengajakku untuk pulang ke desa tempat kelahirannya. Kami menempuh perjalanan melalui kapal. Berkat koneksi Karno, mereka tidak meminta kartu identitas.

Sepanjang perjalanan aku mengenakan masker dan berusaha berjalan bungkuk agar tidak menarik perhatian. Setibanya di desa, aku memberikan Karno kepingan emas yang memiliki berat hingga 300gram. Aku membelinya dengan semua tabungan yang aku miliki. Karno terkejut melihatku.

"Dari mana kamu mendapatkan ini J?" wajahnya ketakutan.

Aku tersenyum dan menyerahkan sertifikatnya. "Aku tidak mencurinya, Paman. Ini adalah hasil kerjaku."

Vanilla's Bodyguard (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang