9. Dilema

75 6 0
                                    

"Terima kasih atas kunjungannya. Silakan datang kembali nanti malam," Aileen membungkuk sopan pada pelanggan terakhir yang baru saja meninggalkan restorannya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga tepat, waktunya menutup restoran selama tiga setengah jam ke depan untuk beristirahat dan juga mempersiapkan bahan-bahan baru untuk menu nanti malam. Beberapa pelayan dengan sigap mengerjakan tugas masing-masing begitu plang open di pintu masuk diubah jadi closed. Ada yang mengelap meja dan menelungkupkan kursi di atasnya, ada yang menyapu dan mengepel, ada yang membersihkan dapur dan mencuci piring, lalu ada juga yang membuang sampah. Sedangkan untuk para koki, mereka mulai menyibukkan diri untuk persiapan menu selanjutnya serta tak lupa mengecek stok bahan makanan - jika ada yang kurang maka mereka akan menghubungi pihak pemasok untuk segera mengantarkan bahan-bahan yang dibutuhkan, atau bisa juga dengan langsung mendatangi tokonya.

"Bagaimana stok bahan untuk nanti malam, Paman?" Aileen menghampiri Paman Carlo yang tengah bersantai bersama koki lain, menarik salah satu kursi, lalu ikut bergabung bersama mereka.

Paman Carlo menyodorkan buku catatannya pada Aileen. "85% beres, Nak. Kita tinggal menambah beberapa ekor ikan salmon, cumi-cumi, udang dan beberapa bahan pelengkap untuk dessert. Oh ya, stok red wine juga ada yang habis. Cabernet, Rosatello dan Brunello Montalcino, tiga jenis wine ini cukup banyak dicari akhir-akhir ini."

"Oke," Aileen mencatat ulang apa-apa saja yang kurang di buku catatan miliknya. Sudah semingguan ini restoran cukup ramai. Bahan-bahan yang biasanya cukup sampai malam, sekarang nyaris habis di siang hari. "Giliran siapa yang akan mengambil bahan-bahan ini?" Aileen membalik ke halaman yang ditandai dengan sticky note hijau. "Hmmm ... Fazio dan Pedro?"

"Aku izin dulu, Bos. Bisa? Barter dengan Marco."

"Enak saja! Aku tidak mau!" sahut Marco sengit. "Tadi aku mendengar percakapannya di telepon. Kekasihnya yang orang Tionghoa itu mau mampir ke sini. Enak saja mau barter demi pacaran. Jangan diizinkan, Bos!"

"Ckckck, kau ini pelit sekali. Tukaran sesekali apa susahnya, sih?"

Aileen terhenyak sesaat setelah mendengar aduan Marco. 'Zhi Hua mau ke sini? Pasti ada hubungannya dengan Dave.'

Sudah lima hari berlalu, namun Aileen masih belum bisa mengambil keputusan. Meskipun saat ini ia sangat membutuhkan banyak uang dan Dave sendiri sudah menjanjikan akan membayarnya mahal, tapi entah kenapa perasaan ragu itu tak kunjung lenyap dari pikirannya. Ada beberapa hal yang membuat Aileen sulit untuk mengatakan 'iya', mulai dari salah satu tugasnya yang harus mengikuti Dave ke Milan, sampai kondisi fisik Dave yang nyaris tak bercela. Ya, Dave yang luar biasa tampan justru membuat Aileen resah. Dave itu seperti cerminan pria masa lalunya. Postur tubuhnya, mata birunya, bahkan parfum yang dia kenakan pun semuanya sama. Demi Tuhan, ini benar-benar gila. Disaat ia dalam kondisi genting dan benar-benar membutuhkan banyak modal untuk merombak restorannya, ia malah dipertemukan dengan calon klien yang menyerupai sosok masa lalunya. Apa ini salah satu bentuk teguran dari Tuhan karena sampai sekarang ia belum juga memaafkan pria jahat itu?

"Pokoknya aku tidak mau! Titik!"

Suara lantang Marco membuat lamunan Aileen buyar. Ia baru sadar dua laki-laki bertubuh bak tiang listrik ini masih saja asyik adu mulut perihal tukar-menukar jadwal.

"Heh sudah-sudah, hentikan!" lerai Aileen geram, membuat dua chef de partie itu seketika bungkam sambil sama-sama berkacak pinggang. "Fazio, cepatlah kau pergi ke Murano dan ambil bahan-bahan yang kurang itu. Tidak ada tukar-menukar jadwal dan tidak ada tawar-menawar lagi. Kalaupun Zhi Hua mau ke sini tujuan utamanya pasti mau menemuiku, bukan kau. Sudah pergi sana!" Aileen memberi gerakan mengusir.

PAPARAZZI (Shadow Of The Past)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt