SeMeRu [End]

23 1 3
                                    

Masih dengan langkah seperti pengantin, rombongan siswa-siswi berprestasi turun dari panggung. Setelah itu, masih ada persembahan terakhir, puisi oleh salah seorang siswi. Barulah ramah-tamah dan foto bersama. Dimulai dari kelas IX-1. Lalu IX-2, kelas Shara.

Pak Udin sudah menunggu di panggung. Wali kelas IX-2 sekaligus guru agama itu tampak elegan dengan batik merah-putih dan celana kain hitam. Jangan lupa peci yang senantiasa bertengger menutupi kepala botaknya.

"Cewek di depan, turun satu langkah, cowok di belakang," komando fotografer. "Yang hitam-hitam di tengah."

Aqilla, Izzati, dan Zea mengubah posisi ke tengah mengikuti instruksi.

"Kamu juga." Fotografer menunjuk Dera.

Gadis pesilat itu menyeringai. Ada untungnya juga tidak bawa baju ganti. Ia bisa berfoto di samping anak-anak berprestasi.

"Satu..."

Pak Udin dan 35 anak kelasnya menyunggingkan senyum.

"Dua..."

Shara mengacungkan dua jarinya.

Jepret!

"Oke, sip."

Giliran kelas selanjutnya.

Bela memasukkan lemper ke mulutnya. Acara sudah usai. Para penonton bergegas keluar dari gedung, kecuali yang sedang berfoto ria, katanya untuk menambah kenang-kenangan. Padahal, kenangan 'kan masa lalu, mana bisa ditambah. Bukannya ia cuma bisa diingat, dilupakan, atau diingat kembali? Bela bawa sepeda, tetapi ia masih malas untuk pulang. Penganan dari panitia lebih menarik. Kalau habis, baru ia pulang.

"Kak Bela!" dua orang siswi menyapa. Dari seragamnya, tentu ia masih kelas tujuh atau delapan, yang akan naik kelas delapan atau sembilan. Hanya adik kelas yang memakai seragam.

"Apa?" Bela mengenali keduanya sebagai Naya dan Tania, juniornya di ekskul basket putri.

"Kak, anak basket enggak foto-foto, nih," bujuk Tania.

Bela berpikir sambil melahap satu suap lemper lagi. Teman-temannya yang lain harusnya belum pulang. Kenangan memang tidak bisa ditambah, tetapi bisa ditangkap dalam pigura supaya tidak dilupakan.

"Oke, deh. Kalian kumpulin kelas tujuh dan delapan, ya! Aku cari anak kelas sembilan."

"Siap, Kapten!"

Akhirnya anak-anak basket berkumpul. Mereka meminjam panggung sebagai latar.

"Kapten di tengah, dong!"

Bela menurut, mengambil tempat di tengah. Di kanannya ada Ghina dan Ami. Di kiri ada Bryna dan Caca. Adik-adik kelas yang berseragam memosisikan diri di depan dan belakang.

"Gayanya samakan, dong!"

"Boleh, gimana?"

"Begini saja." Ami membentuk kedua tangannya seperti lingkaran.

"Oh, bentuk bola."

"Bukannya itu posisi buat shooting, ya?"

"Oke, pakai gaya itu, ya!"

"Satu, dua, ... "

Jepret!

"Makasih, Satria!"

"Sama-sama."

Satria yang barusan menjadi sukarelawan untuk memfoto anak-anak basket mengembalikan telepon pintar milik Ghina.

"Yuk, Sat!" panggil Ardhian.

"Oke, oke."

Mereka berencana pulang bareng. Rumah keduanya searah, tidak terlalu jauh dari gedung perpisahan, hanya melewati dua perempatan dan beberapa tikungan. Pun mereka sama-sama naik sepeda pancal, bisa saling mengingatkan kala menyebrang, atau kalau mau menerobos lampu merah di perempatan. Enaknya punya teman.

Ardhian baru menemukan sepedanya ketika seseorang menyapa,

"Adik temannya Ayunda, bukan?"

"Ah! Iya, Om." Rupanya ayah Ayunda. Ardhian tahu karena pernah berkunjung ke rumahnya dengan alasan kerja kelompok.

"Lihat Yunda, nggak, Dik?"

"Tadi saya lihat dia masih foto-foto. Apa mau saya panggilkan?" tawarnya sopan.

"Boleh, Dik. Makasih, ya."

"Iya, Om, permisi." Ardhian berbalik ke dalam gedung. "Sat, tungguin bentar, ya! Aku masih ada urusan." katanya pada Satria yang masih celingukan mencari sepeda.

Di dalam gedung, Ayunda asyik menangkap kenangan bersama Shara dan kawan-kawan. Anak perempuan memang kalau mengambil foto tidak tanggung-tanggung banyaknya. Blur sedikit, ulang. Kurang cantik sedikit, ulang. Kurang senyum, ulang. Giliran resolusinya bagus, sudah cantik, senyum penuh, ganti gaya. Ulang lagi.

"Nda, Ayunda!" Ardhian menginterupsi kegiatan gadis-gadis itu.

Ayunda menoleh.

"Ayahmu sudah di depan."

"Oh, iyakah?" responsnya. "Teman-teman, aku pamit duluan, ya." Ayunda bergegas menuju pintu. "Makasih, Yan." Tak lupa ia berterima kasih pada si pembawa berita.

"Aku juga pamit, ya. Kayaknya Izzat lagi ngomel-ngomel gara-gara bosan nunggu."

"Aku juga, ya!"

"Aku juga."

"Duluan, ya!"

"Dadaa~"

"Aku juga pulang duluan, Shara!" kata Berlian. "Kamu SMA masih di Sumenep 'kan?"

"Eum, aku ada rencana sekolah di Jawa, sih."

"Yah." Berlian menggembungkan pipi. "Nggak papa, deh. Jangan lupakan aku, ya!" Gadis gempal itu memeluk Shara.

Tentu, setahun putih-birunya terlampau berharga untuk dilupakan. Akan Shara prasastikan memori ini dalam sanubari. Begitu banyak yang ia dapatkan di sini: teman-teman, wawasan tentang budaya, pelajaran hidup, toleransi, gotong royong, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan, ia mulai berhijab di sini, di sekolah menengah pertama ini. Andaipun pikiran lupa, perasaan tidak bisa berdusta. Masa lalu membentuk pribadi, pribadi menentukan masa depan.

"Sampai jumpa."

*

Putih BiruOnde histórias criam vida. Descubra agora