Dalam Hening di Malam Sepi [Hening]

45 5 0
                                    

Hening. Membuat sekujur tubuh merinding. Mencekam. Langit kelam tanpa satu pun gemintang. Dewi Malam sendiri di langit hitam. Pesonanya terhalang kelabu awan yang menggumpal. Pepohonan melambai membalas sapaan angin malam. Gemerisik terdengar dari ayunan dedaunan. Selain itu, hening.

Brum... Ckitt... Beat biru berhenti di depan gerbang SMP Negeri 1 Sumenep. Hei, siapa pula yang mau ke sekolah malam-malam. Malam Minggu pula. Sebegitu kesepiannya kah?

Tiga cewek yang tadi berbonceng tiga melangkahkan kaki-kaki mereka turun dari sepeda motor. Si pemegang kemudi melepas helm ink warna ungu, mengekspos rambut hitam yang panjangnya melebihi pinggang, dengan anak rambut membingkai wajah oval, serta poni menutupi kening lebar. Remaja berwajah keras dengan sorot mata tajam ini mengenakan kaos hijau tosca, jaket putih yang dibiarkan tak terkancing, serta jeans hitam yang menutupi kaki jenjangnya. Dera namanya. Sangar benar gayanya.

Yang tadi duduk di tengah, amat jauh perbedaannya dengan remaja yang pertama, berperawakan mungil, kurus, pendek pula. Si mungil ini memakai dress donker selutut, celana pink, jaket pink, dan kerudung segiempat berwarna merah muda. Penyuka merah muda, Shara.

Terakhir, berkemeja biru pastel, rok donker, dan kerudung putih lebar. Otak dari ekspedisi malam ini. Izzati, wakil ketua kelas IX-2 yang -dalam kondisi normal- bijaksana.

"Gerbangnya dikunci, mustahil masih ada orang di dalam," remaja berambut panjang itu menggoyang-goyangkan gerbang.

"Tapi firasatku mengatakan, yang kita cari ada di dalam," sanggah Izzati. Tatapannya menyiratkan keyakinan.

Demi mendapati Izzati seyakin ini, Dera mengambil ancang-ancang. Hap- dipanjatnya gerbang sekolah -hap- merayap seperti cicak -hap- dan sukses melompati besi bercat emas itu. Izzati menyusul kemudian dengan gerakan serupa. Sekarang, tersisa Shara. Takut-takut ia melihat kedua temannya di balik gerbang. Dari postur tubuhnya, mana bisa ia memanjat gerbang setinggi tiga meter itu.

"Shara mau ikut atau menunggu di luar saja?" tanya Izzati.

Shara memutar otak. Ia punya dua pilihan: menunggu di luar sendirian dengan risiko tidak ada yang bisa dimintai tolong jika terjadi sesuatu; atau ikut ke dalam dengan konsekuensi ia harus siap dengan apapun yang menunggu di dalam.

"A... Aku ikut." Entah setan mana yang mendorong Shara memilih opsi kedua.

*

Sekarang di sinilah mereka, di halaman depan sekolah yang tampak seram karena pencahayaan yang kurang. Halaman depan SMPN 1 Sumenep adalah halaman kosong yang cukup luas. Adalah jarak antara gerbang dengan bangunan kelas. Bagian-bagian tertentu dipercantik dengan pohon-pohon pakis haji, kembang-kembang soka, daun-daun pucuk merah, dan ornamen-ornamen bergambar ikan, sisanya silakan kalian bayangkan.

Izzati memimpin di depan, dengan lampu sorot dari ponselnya. Dera berjalan paling belakang, jaga-jaga kalau ada serangan. Sementara Shara memilih zona aman: di antara mereka berdua.

Ada tiga jalur masuk dari halaman depan ke area inti: gerbang utara yang dekat tempat parkir siswi; gerbang selatan dekat tempat parkir guru dan siswa; dan lobi, akses istimewa yang dilarang dilewati siswa pada hari-hari biasa. Berhubung malam Minggu bukan hari biasa, Shara dkk. memutuskan masuk lewat lobi.

Tembus ke halaman tengah, Shara menelan ludah. Halaman tengah lebih seram dari halaman depan. Pertama, karena nyaris tak ada penerangan selain lampu sorot yang dibawa Izzati. Kedua, karena banyaknya pepohonan yang tumbuh di sini. Kresek... kresek... Angin berembus membuat dedaunan saling bergesekan. Kalau siang, pohon-pohon yang dipagari keramik itu jadi tempat anak-anak nongkrong. Tapi kalau malam, bisa-bisa jadi tempat nongkrong arwah penasaran.

"Izza, Dera... Aku takut," rengek bocah pinky itu.

Dari awal Shara tidak setuju dengan rencana ini. Ada yang aneh di sini. Sebagai anak silat, Dera memang nekat dan berani. Kalau manusia normal memiliki sepiring takut dalam hati, Dera cuma punya sesuap takut dalam diri. Akan tetapi, Izzati harusnya bisa lebih bijak, sekarang ia terkesan amat gegabah. Ah, Shara menyesal memilih ikut, seharusnya ia menunggu saja di luar. Semakin merinding ia kala teringat, katanya bangunan SMP 1 itu sebagian turunan Belanda. Ah, bagaimana kalau tiba-tiba ada arwah orang Belanda gentayangan?

"Tenang Shara, tenang..." Izzati menoleh, "bukankah Allah bersama kita?"

Shara menghela napas. Benar. Mengapa ia harus takut pada makhluk?

Izzati menyorotkan cahaya ke sekeling, kelas VII-1 sampai VII-4, kelas VIII-9 dan VIII-10, ruang asisten, ruang kepsek, BK, ruang meeting, lalu ke kelas VIII-1 sampai VIII-8 di lantai dua.

"Kita perlu naik, nggak?" tanya Izzati.

"Kelihatannya tidak apa-apa di lantai dua," komentar Shara.

"Kita tidak tahu kalau tidak memastikan," sahut Dera.

"Mungkin sebaiknya kita naik," kata Izzati.

"Kalau mau cepat, kita bisa berpencar," usul Dera, "satu naik, satu ke selatan, satu ke utara."

"Jangan! Gimana kalau ada apa-apa?" Shara menyanggah.

"Kalau ada apa-apa tinggal teriak kan? Toh, di sini sepi, kalau ada yang bersuara pasti langsung kedengaran."

"Iya kalau bisa. Kalau dibawa ke alam lain? Atau tiba-tiba kerasukan? Pingsan? Gak bisa teriak."

"Kamu percaya yang begituan? Emang di kota ada yang kayak gitu?"

"Aku.. cuma.. menghargai mereka."

"Sudah-sudah." Izzati melerai perdebatan kedua rekan seperjuangannya. "Kita sama-sama naik ke atas."

Mereka turun setelah memastikan tidak ada orang.

Pencarian berlanjut. Izzati menyorot bangunan dari kanan ke kiri. Ruang Tata Usaha, UKS, aula, gudang kecil dan toilet guru. Ruang guru terletak di selatan aula. Shara dkk. lanjut ke barat. Setelah ruang guru ada kelas VII-5 sampai VII-10. Kelas IX-10, IX-9, dan IX-8 juga terletak di sana. Sampai di pojok barat daya sekolah, tidak ada apa-apa. Mereka beranjak ke lapangan basket.

Lapangan basket tak seseram halaman tengah. Shara bersyukur karena sinar Sang Dewi Malam bisa masuk menerangi area lapangan. Izzati kembali menyorotkan cahaya lampu. Kelas IX-1 sampai IX-4 kosong melompong, begitu juga kelas IX-6 dan IX-7. Namun tidak dengan kelas di ujung sana, kelas IX-5 adalah satu-satunya kelas yang lampunya nyala, mencurigakan.

Whuss... Angin malam berembus. Suara-suara bariton terdengar di antara heningnya malam. Shara merinding, bulu kuduknya berdiri, menyatakan tanda bahaya. Ia bisa merasakan tubuh Izzati menengang, Dera memasang sikap waspada, dan kalau ia tidak salah duga, mereka memikirkan hal yang sama, ada seseorang -atau mungkin sesosok makhluk- di dalam kelas IX-5!

Taptaptap... Izzati mempercepat langkahnya, tidak lagi berjalan, ia mulai berlari seperti orang kesetanan.

"Izzati, tunggu!" Teriakan Dera tak digubrisnya.

Shara mendapati Dera menarik paksa tangannya. Mulailah ia membayangkan hal-hal irasional. Mulutnya komat-kamit membaca doa pengusir makhluk astral.

Srett... Daun pintu terbuka.

Dua penjahat kecil tertangkap basah. Wajah mereka pias. Shara terkejut sementara Dera memasang muka masam.

"Izzat, kenapa belum pulang?"

*

...Bersambung...

Putih BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang