Mahasiswa berlalu lalang meninggalkan kelas untuk menuju kantin. Hari ini tidak ada bekal yang diantarkan untuk Cai Ding. Pemuda itu merengut, menuju tempat makan di kampus dengan perasaan kesal yang menyatu dengan omelan di sepanjang koridor. Ia meninju lengan Peng Chuyue sesekali, tidak menggubris keluhan maupun perasaan tidak suka yang dilayangkan Chuyue pada pemuda itu.
"Aku kesal!" Cai Ding meniup-niup anak rambut seraya melanjutkan langkah. Chuyue hanya menanggapi dengan gelengan. Ia terlampau terbiasa dengan pemuda manis yang sedang membelah kerumunan pada antrean panjang di salah satu stand penjual makanan siap saji.
"Beri aku jalan! Aku lapar!" Cai Ding menengadah, mencebik, memberikan tatapan polos sekaligus memohon pada orang-orang di hadapannya.
"Beri anak malang ini belas kasihan!" Mimik wajah lucu sekaligus menggemaskan kepunyaan Cai Ding, membuat orang-orang yang sedang menatap pemuda manis tersebut harus mati-matian menahan diri agar tidak mencubit pipi gemuk pemuda itu.
"A-Ding." Sebuah suara menginterupsi kegiatan pemuda manis tersebut hingga menoleh sembari menggigiti kuku. Pemuda yang sangat asing pada penglihatan Cai Ding itu, mendekat seraya menyerahkan kotak bento.
"Chen Yu sedang sibuk untuk dua minggu ke depan." Letnan Liu tersenyum, mengajak pemuda manis itu untuk duduk pada salah satu kursi kosong, tidak memedulikan Chuyue yang lagi-lagi seperti makhluk tidak terlihat. Chuyue mengabaikan kedua pemuda itu dan lebih fokus mengantre makanan karena perut yang sudah berteriak meminta untuk diisi.
"Itu sangat lama!" Cai Ding mencondongkan tubuh, menempelkan pipi pada permukaan meja seraya cemberut. Berada di sekitar Chen Yu sudah menjadi hal yang biasa untuk pemuda manis itu. Menginap secara bergantian, menghabiskan hari libur bersama, bahkan menyantap makanan buatan Chen Yu yang terasa lezat di lidah. Secara refleks, Cai Ding tersenyum, mengingat betapa manis perlakuan sang kekasih yang ditujukan pada pemuda itu.
"Tidak bisakah Chen Yu Gege mengajakku?" Cai Ding meletakkan dagu pada meja sembari melihat ke arah Letnan Liu yang sedang melihat jam tangan. Lalu, mengambil ponsel pintar pada saku celana dan menghubungi seseorang setelahnya.
"Dia baik-baik saja. Jangan khawatir. Pipinya masih gemuk seperti biasanya." Letnan Liu terkekeh lalu menutup sambungan telepon.
"Aiya, aku mau apa kalau dia tidak ada di dekatku?" Cai Ding merengek sekali lagi. Ia membentur-benturkan dahi pada permukaan meja hingga memerah.
"Hei, A-Ding! kapten Chen hanya pergi satu minggu, tidak untuk selamanya! Lagi pula, ada sepupuku yang akan menjaga kekasihmu." Sadar telah membuat kesalahan, Letnan Liu menepuk dahi seraya memejamkan mata. Ia tersenyum tanpa minat sembari melirik ke arah pemuda bergigi kelinci tersebut. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika tatapan membunuh sudah dilayangkan padanya.
"Katakan jika aku salah dengar, Ge!" Rahang Cai Ding mengeras. Ia membanting kotak bento dan meninggalkan Letnan Liu yang berusaha untuk memberikan penjelasan. Kekasih Chen Yu memilih untuk tidak menanggapi teriakan sahabat sang kekasih. Ia terlalu kesal hingga ingin mencabik apa saja yang berada di depannya. Lagi-lagi rasa cemburu itu lebih pintar menguasai. Seolah-olah mampu membakar apa saja yang tidak sesuai dengan angan.
"Sialan!" Cai Ding berjalan dengan tergesa. Satu tetes cairan bening lolos dari pelupuk mata hingga meluncur begitu tenang pada permukaan pipi. Pemuda itu mengusap dengan kasar lalu menuju pintu gerbang kampus universitas. Pikiran pemuda itu sedang kacau dan tidak ada niatan untuk mengikuti mata kuliah yang seharusnya ia ikuti.
"Aku ingin makan es krim! Hah! Aku butuh es krim!" Cai Ding menyusuri trotoar dengan wajah masam, netra memerah dan gigi gemeletuk. Ia sesekali berhenti dan menatap pada hamparan biru di atas sana, berusaha untuk menahan air mata agar tidak melompat keluar tanpa pemuda itu pinta. Ia memejamkan mata dengan erat.
"Dia hanya bekerja, bukan? Bukan berselingkuh! Kenapa aku begitu marah?" Cai Ding menunduk seraya menaikkan gendongan pada tas punggung. Berjalan menyusuri trotoar di tengah terik matahari ternyata tidak terlalu buruk. Pemuda itu mengusap wajah secara kasar, berdecih, dan memainkan ujung sepatu pada permukaan trotoar.
Pemuda itu berhenti sekali lagi. Ia bersandar pada tepian pagar pembatas, melihat mobil berlalu lalang yang sedang berlomba dengan sang waktu. Para pejalan kaki, pun tidak kalah ramai, melintas seraya berceloteh. Cai Ding mengembuskan napas lelah. Ia ingin segera pulang dan membatalkan niatan untuk menyantap makanan manis sekaligus dingin tersebut.
"Aku ingin segera bertemu mama." Penat kian menggerogoti. Rasa tidak suka ketika membayangkan sang kekasih bersama dengan seorang wanita yang beberapa waktu lalu sempat menjadi pemicu pertengkaran untuk keduanya, menjadikan Cai Ding merasa lemah dengan perasaan yang pemuda manis itu punya. Tiba-tiba saja perasaan untuk mengakhiri terlintas begitu saja.
"Aku tidak lebih baik dari seorang anak kecil. Hal seperti ini saja sudah membuat aku cemburu. Mungkin ...." Cai Ding mengembuskan napas frustrasi. Ia terus menyusuri trotoar tidak tentu arah. Pulang pun tidak akan mengubah segalanya menjadi lebih baik. Cai Ding tersenyum getir. Menyadari betapa buruk sifat mudah tersulut marah yang ia miliki. Sejak awal, ia sudah ragu dengan hubungan yang ia jalani. Apakah ia mampu bertahan dengan menjadi kekasih yang pengertian ataukah hanya akan menambah beban untuk Kapten Chen?
"Bodoh!" Cai Ding mengumpat pada dirinya sendiri. Sangat kekanakan dan merasa tidak layak kian merambah pada sanubari hingga netra pemuda itu mengarah pada kedai makan di sudut jalan yang menghadap ke arah danau. Rupa-rupanya, pemuda manis itu sudah berjalan cukup jauh. Namun, ia tidak ingin ambil pusing. Mengisi perut dengan makanan pedas adalah satu-satunya hal yang melintas di kepala.
******
Pukul sepuluh malam dan Cai Ding belum juga pulang. Nyonya Cai mondar-mandir dengan perasaan berkecamuk. Putra kesayangan mama Cai Ding tidak kunjung pulang. Ia berusaha menghubungi ponsel Cai Ding beberapa kali, tetapi tidak satu kali pun ada jawaban.
"A-Ding, sebenarnya kamu ada di mana, Nak?" Nyonya Cai keluar rumah dan menuju tempat Paman Han. Ia mengetuk pintu secara berulang hingga papan kayu itu terbuka.
"Cai Fei?" Paman Han mempersilakan Nyonya Cai masuk ke rumah lalu menyuruh wanita yang tampak cemas itu agar duduk pada kursi.
"Maaf jika aku mengganggu, Paman Han. A-Ding belum pulang dan aku tidak tahu harus menghubungi siapa? Bahkan nomer Chen Yu, pun aku tidak memiliki!" Paman Han mengangguk paham lalu menuju lemari kayu dan mengambil buku yang bertuliskan beberapa nomor penting.
"Aku tidak terbiasa menggunakan telepon genggam, tetapi aku mencatat beberapa nomor penting termasuk milik putramu dan Chen Yu." Paman Han menyerahkan buku pada mama Cai Ding. Tidak perlu berpikir dua kali, Nyonya Cai langsung mencari nama yang ia inginkan lalu menghubungi melalui ponsel pintar yang ia letakkan di saku. Nyonya Cai menekan nomor dengan tergesa dan sedikit gemetar. Ia beberapa kali menekan angka yang salah hingga hampir saja frustrasi.
"Lakukan secara perlahan, Cai Fei!"
Nyonya Cai mengangguk, mengusap air mata, lalu mencoba menghubungi Kapten Chen sekali lagi hingga akhirnya tersambung.
"Chen-Chen Yu, putraku, A-Ding ... dia belum pulang!"
TBC.
Ni anak ngumpet ke mana, yak? Bantu nyari, yuk?

YOU ARE READING
Cai Ding (Tamat)
RomanceCai Ding Chen Yu penulis hanya meminjam nama yang mereka perankan untuk melengkapi imajinasi.