Rasi bintang berkedip samar. Langit cerah tanpa adanya mendung, membuat suasana malam kian berbinar dengan beberapa lampion kecil menyala di sana sini.
Tepian jalan tampak ramai dengan beberapa pejalan kaki yang tengah menikmati hangatnya kebersamaan dengan orang terkasih.
Dua pemuda berparas rupawan sedang menikmati santap makan malam di salah satu kedai pinggir jalan yang buka hingga tengah malam. Menu sederhana serta pelayanan yang ramah, membuat Cai Ding betah berlama-lama duduk sekadar untuk memulihkan energi yang terkuras seharian. Sumpit di jari bergerak lincah menjepit bebek goreng di piring.
"Jadi, ini tempat favoritmu?" Kapten Chen meminum arak beras yang tadi ia pesan.
"Jangan terlalu banyak minum," Cai Ding melirik seraya menyantap bebek goreng, "aku tidak kuat menggendongmu!" Kalimat itu terdengar seperti seorang kekasih yang sedang memberikan ceramah kepada pasangannya. Pemuda bergigi kelinci itu menggerutu beberapa kali sambil memberi tatapan membunuh kepada pemuda bermarga Chen itu.
"Toleransi alkohol di tubuhku sangat baik," Kapten Chen menuang kembali arak beras ke cangkir, "aku bisa menghabiskan tiga botol lagi jika diperbolehkan." Pemuda bermata elang itu meminum dalam satu kali tegukan. Sorot mata tajam sekaligus meneduhkan itu, membuat duduk Cai Ding terasa tidak nyaman. Ia ingin sekali menyudahi makan dan pulang agar tidak menjadi korban penculikan pemuda mesum dengan pangkat perwira polisi itu.
Kapten Chen menekan siku di meja dan menggunakan telapak tangan untuk menyangga pelipis. Makanan di hadapan Kapten Chen, seolah hanya menjadi sebuah sesaji dan nyaris tidak tersentuh.
Perwira polisi itu lebih suka memandangi pemuda dengan poni sebatas alis seraya tersenyum-senyum. Sekadar mengistirahatkan tubuh serta pikiran lelahnya dari rutinitas di kantor yang kadang menyita banyak waktu.
"Aku sudah kenyang." Cai Ding memberi tahu.
"Aku juga." Kapten Chen menyangga dagu.
"Makan angin?!" Cai Ding mengejek.
"Makan kelinci, sebentar lagi, mungkin." Cai Ding hampir saja menyemburkan teh hangat yang sedang ia minum. Ia menelan dengan susah payah, menyambar tisu di meja, mengelap mulut, dan menggerutu sekali lagi.
"Polisi mesum!" Polisi tampan itu lebih menyerupai manusia yang tidak bisa berpikir dengan benar. Apakah hanya kemesuman yang ia pikirkan ketika bersama dengan dirinya? Pertanyaan-pertanyaan konyol mulai menjalar di kepala pemuda manis itu hingga suara berat seseorang menyadarkan Cai Ding dari lamunan singkat.
"Kelinci, kita pulang, oke?" Kapten Chen mengalungkan tas punggung Cai Ding di pundak dan menarik jemari pemuda manis itu lalu menakutkan.
"Hei, kita belum membayar?" Cai Ding berusaha melepas genggaman di tangannya.
"Aku sudah membayar. Tas milikmu juga sudah aku bawa." Pemuda bermata elang itu menunjuk bahu kanan seraya mencubit pipi pemuda kelinci itu.
"Kita jalan-jalan sebentar." Kapten Chen meminta.
"Jangan bilang kalau kamu akan menculikku!" Netra indah Cai Ding menyipit, memicing, nyaris mengintimidasinya.
"Hanya pergi ke tempat yang menarik, percayalah." Kapten Chem meyakinkan. Ia menarik pemuda itu ke dalam pelukan dan mengajak untuk berjalan kaki sejenak.
Sebuah supermarket yang lumayan ramai. Tempat beberapa orang melakukan perburuan boneka berukuran sedang pada sebuah mesin capit di tempat yang sekarang sedang mereka tuju.
Kapten Chen tampak sangat antusias. Beberapa kali ia tersenyum penuh hingga menampakkan garis bulan sabit di pipi. Senyum yang sangat menawan. Untuk sepersekian detik mampu membuat Cai Ding terkesima nyaris hilang kesadaran dibuatnya.
"Apakah aku sangat tampan?" Kedua alis Kapten Chen naik turun. Ia terkekeh dan mengusap rambut pemuda manis itu hingga menjadi tidak beraturan. Cai Ding yang menerima perlakuan itu, sampai harus menyembunyikan wajah memerahnya. Pemuda itu malu, nyaris menenggelamkan diri di ketiak Kapten Chen agar tidak terlihat oleh orang-orang si sekitar mereka.
"Hei, apa yang sedang kamu lakukan? Tunggu! Kita sudah sampai." Perwira polisi itu menaikkan dagu pemuda bergigi kelinci itu agar bisa melihat dengan jelas rona merah yang sangat Kapten Chen sukai.
"Jangan pernah menyembunyikan wajahmu ketika sedang bersamaku, A-Ding," Kapten Chen menyelipkan anak rambut pemuda manis itu di sela-sela telinga, "raut muka polos yang sering kamu perlihatkan adalah sesuatu yang sangat aku suka." Kapten Chen mencium dahi pemuda itu sekilas, memasuki supermarket lalu menuju mesin capit yang kebetulan tigak ada antrian berjajar di sana.
"Baiklah, mari kita coba." Kapten Chen menukar sejumlah uang dengan koin untuk ia masukkan ke mesin capit agar kotak besar alat permainan itu dapat bekerja dengan benar.
Cai Ding memulai terlebih dulu. Dengan penuh semangat, ia menggerakkan dua stik di sisi kanan dan kiri dengan sangat hati-hati. Pemuda manis itu tidak ingin mendapat malu karena gagal mengambil sasaran yang sudah ia inginkan.
"Aku mau boneka singa." Cai Ding menggerak-gerakkan stik secara perlahan, membidik target dengan hati-hati, lalu menurunkan mesin capit tepat di atas boneka singa itu.
"Yey! Dapat!" Cai Ding melompat-lompat seperti kelinci hingga tanpa ia duga, pemuda pemilik tahi lalat di bawah bibir itu tersandung kakinya sendiri.
"Hati-hati!" Kapten Chen berteriak lalu dengan sigap menangkap tubuh pemuda manis itu agar tidak membentur lantai. Jika kalian pernah menonton drama percintaan remaja, seperti itulah, kiranya yang sedang mereka alami sekarang. Posisi tubuh Cai Ding berada dalam pelukan perwira polisi itu dengan wajah yang berjarak sangat dekat hingga kedua napas hangat mereka saling bertabrakan.
"Maaf, Tuan-tuan. Bisakah kami ganti menggunakan mesin capit itu, sekarang?" Seorang ibu-ibu muda sedang meringis sambil menggendong putrinya di pinggang.
Dua pemuda berparas rupawan itu seketika tersadar, melepas pelukan secara perlahan, dan menegakkan tubuh sambil berdeham beberapa kali serta menggaruk tengkuk yang sudah pasti tidak gatal.
Kapten Chen mencoba menetralkan suasana, mengambil boneka singa yang tengah berhasil didapat oleh Cai Ding. Pikiran usil tiba-tiba menghampiri pemuda bermata elang itu. Ia mendekatkan hidung kecil boneka singa ke wajah Cai Ding hingga menyentuh bibir merah muda miliknya.
"Cup-cup-cup." Kapten Chen mengulang-ulang kata itu hingga membuat beberapa orang terkekeh geli. Cai Ding yang belum tersadar dari tingkah menggelikan pemuda singa di hadapannya, hanya terbengong dengan kedua mata mengerjap lucu.
Merasa sudah tidak bisa lagi menahan godaan di depannya, Kapten Chen memeluk pemuda manis seraya mengangkat tubuh kurus Cai Ding. Sepersekian detik berikutnya, pemuda bergigi kelinci itu tersadar dan mendaratkan pukulan bertubi-tubi di bahu lebar pemuda tampan yang sedang memegangi pinggang seraya mengangkat tubuh Cai Ding.
"Turunkan aku, Chen Yu Gege!"
TBC

ŞİMDİ OKUDUĞUN
Cai Ding (Tamat)
RomantizmCai Ding Chen Yu penulis hanya meminjam nama yang mereka perankan untuk melengkapi imajinasi.