14

1.9K 125 0
                                    

Regina berjalan mondar-mandir di kamarnya. Rak-rak buku menjulang tinggi. Kamarnya lebih mirip sebuah perpustakaan pribadi daripada kamar tidur seorang gadis. Tidak banyak aksesoris cantik yang menghiasi kamar itu. Hanya satu lukisan besar yang dibelinya di pameran kampus. Lukisan tentang hutan dan seorang anak laki-laki yang tampak kecil diantara pepohonan. Dan terdapat beberapa boneka-boneka lucu menghiasi sudut-sudut rak buku dan meja belajarnya.

Segelas Luwak white coffee panas tersaji di meja kaca bundar tepat di dekat jendela kaca tak bertirai. Asapnya mengepul menawarkan kehangatan. Di luar sedang hujan deras. Sesekali terdengar suara gemuruh di langit. Setiap kali kilat menyambar di angkasa, Regina langsung menunduk, memejamkan mata dan menutup telinganya. Di usianya yang sudah dewasa, dia masih saja takut dengan suara gelegar guntur. Tapi memang suara guntur akhir-akhir ini sangat memekak telinga seolah-olah fenomena alam itu terjadi tepat di sisinya. Menakutkan.

Bosan mondar-mandir, Regina kemudian mengambil sebuah buku dari rak di dekat meja belajarnya. Buku berjudul Everyday Greatness itu sudah dibacanya berkali-kali, karena itu sampulnya sudah lecet dan terlepas. Isinya berupa kumpulan kisah yang menginspirasi. Regina membacanya di saat dia merasa kacau. Dia perlu sesuatu yang bisa membangkitkan kepercayaan diri dan itu sering dia dapatkan dengan membaca buku-buku tentang kebaikan dan nilai-nilai kehidupan.

Dia duduk di meja belajar dengan lampu baca yang diarahkan pada bukunya. Dia membuka buku itu dan tiba pada halaman yang ditandai pembatas buku. Isinya mengenai poin ketiga dari tiga prinsip yang memperkuat kemampuan orang untuk memulai dari dalam yaitu: terima kasih. Dia telah menghabiskan poin pertama integritas dan poin kedua kerendahan hati.

Sebuah kisah berjudul 'Warisan Pak Ditto' mengawali perjalanannya membaca. Kisah itu diawali dengan seorang perawat yang menyaksikan kematian pasiennya, seorang pria kulit hitam yang sudah tua dan menderita sakit keras yang lama. Baru pada pembukaan saja, Regina merasakan napasnya sesak, seolah-olah aliran napasnya tersedak oleh rasa haru.

Baris demi baris Regina membacanya dan sambil membayangkan pria tua dan pergolakan batinnya. Dia juga membayangkan kehidupan orang-orang yang hidup sendiri dan sepi.

Lalu tiba pada bagian di mana Pak Ditto¯demikian nama pria tua itu memberikan sekeping uang logam lima sen sebagai tanda terima kasihnya pada kebaikan sang perawat. Mata Regina berkaca-kaca. Hatinya miris membayangkan seorang pria tua renta memberikan uang logam lima sen¯hanya uang itulah yang dimilikinya di dunia ini¯sebagai hadiah dan kesadarannya tentang kebahagiaan bisa memberi.

Regina membiarkan air matanya bergulir hingga akhir cerita. Dia menangis tanpa suara, lalu pergi mengambil kopi dan menyerapnya seteguk demi seteguk. Dia menelannya sambil membayangkan perasaan sang perawat yang membeli secangkir kopi dengan uang lima sen¯pemberian Pak Ditto.

Pak Ditto membuatnya teringat pada Adrian¯pria paruh baya yang mudah merasa kesepian dan selalu terlihat sedih. Tidak hanya itu, dia juga teringat pada janji Adrian yang akan memberinya hadiah khusus untuk Natal. Adrian yang malang yang selalu teringat padanya. Dan Regina belum sempat membalas budi baiknya, apalagi membahagiakannya.

Regina kemudian menyeka air matanya. Sekarang dia kembali pada kehidupannya. Dia berjanji tidak akan terganggu dengan persoalan perjodohan. Usianya masih muda, jalan di depannya masih panjang, masalah perjodohan tidak akan menghentikan langkahnya untuk mengejar impiannya. Dia ingin menghidupkan hidupnya dengan caranya sendiri.

Setelah menenangkan diri, Regina mematikan lampu baca dan pergi ke ranjang. Dia berbaring dan memejamkan mata. Berharap besok dia bisa menemukan solusi. Tapi malam itu merupakan malam terpanjang dalam hidupnya, karena dia susah untuk terlelap.

THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)Where stories live. Discover now