part 1 - aspirasi

394 128 57
                                    

Ambisi gue besar tanpa tau pandang kehidupan.

Zeyen Amelly
-·-·-·-



Rasa yang sulit terungkap. Psikis yang lelah tapi kata istirahat tidak punya makna jika ujung dari intensi ambisi belum juga terlihat. Langkah yang diambil terasa berat, meninggalkan kisah jejak sebelumnya yang penuh drama dan menorehkan sebagian luka. Aku menatap langit pagi dengan keindahan alami. Surya yang memancarkan warna jingga dan bulan yang masih menghiasi awan cerahnya.

"Haaa... "

Begitu berat Tuhan, bernafas aku sakit pun sebaliknya. Diriku menatap arah pandang ke depan. Secuil harapan di pagi hari sedikit tergoyahkan dari manisnya omongan manusia. Awal hari dengan kejadian tadi, membuat hasrat diriku perih. Aku kadang bertanya-tanya kenapa ditengah pikiranku berkecamuk menggapai mimpi, orang-orang dengan mudahnya mematahkan rajutan asa itu dalam satu kali. Bahkan orang yang melahirkan aku sekalipun.

"Kamu jangan terlalu berharap dengan kehidupan ini Zey! Punya apa kamu mau jadi orang bergelar ha?! Kasta kita orang rendahan, jalan kita sempit, masih hidup aja bersyukur! Kamu paham enggak koneksi aja kita enggak punya! Jadi Ibu mohon kamu jangan banyak tingkah dan jangan buat hidup Ibu tambah susah! Kubur dalam-dalam mimpi kamu! Nggak bakal kenyataan Zey, mustahil kamu ngerti! Ibu sakit lihat kamu terusan ngimpi, ngimpi, ngimpi! Bangun lihat kenyataan kita nggak pantes minta ini-itu ke dunia! Ibu nggak mau kamu berharap berlebihan dari dunia ini Zey! Kamu punya mata, 'kan? Punya apa kamu ha!"

"Iya gue tau. Ambisi gue besar tanpa tau pandang kehidupan," air mataku membendung. Samar-samar aku mencoba mengungkit kata-kata dari orang yang seharusnya menuntun aku menuju kesuksesan. Namun ternyata? "Hahaha, ibu benar kok."

Kata-kata itu menambahkan sakit tapi diriku terdorong untuk bangkit. Larutan mata jatuh di pipiku. Amatan orang yang berseliweran masuk ke dalam SMA Stia Nusantara menjadi objek pandanganku. Aku mengulas senyum simpul, "Enggak pa-pa kok Zey. Mereka yang sampah dengan membuang waktu berkesan mereka cuma hanya ingin tau kehidupan orang lain. Setelahnya menjadikan bahan perbincangan yang sama sekali enggak berguna selain menjadikan orang lain sebagai candaan, mereka akan puas kalo ujung tombak udah menderita. Lo perlu lakuin itu aja, nggak pa-pa daripada lo ngelawan yang ada juga buang-buang waktu doang. Bukannya lo udah terbiasa juga, 'kan Zey."

Aku mengusap kasar air mata yang melintas. Itulah kehidupan, orang yang rata-rata pendiam tidak melawan, miskin tidak bicara, bukannya emang standarnya cocok jadi bahan gurauan? Kalaupun kejadian yang berulangkali sama, bukannya aku sudah terbiasa?

"Kalian semua jahat, egois, mencari kesenangan dengan orang lain sebagai tumbal," kakiku menjejakkan langkah bersama iringan tawa miris melihat nasibku sebagaimana takdir rasanya sudah tidak adil kepadaku, "yang sayangnya... gue selaku jadi persembahannya." Haruskan Ya Tuhan, kehidupanku seperti neraka bumi yang aku rasakan. Tolong, aku masih kecil aku juga ingin punya kehidupan yang layak dan semestinya seperti mereka-mereka.

Tepat pintu gerbang Stia Nusantara, aku membuka neraka dunia untuk diriku sendiri yang kesekian kali. Belum sempat menghirup zat asam ejekan itu lagi yang berulangkali harus aku dengarkan. "Ya ampun, pantesan hawa disini enggak mendukung perasaan tadi tentram. Wajar! Anak jalang mau lewat woy, kasih jalan coba ratu caper mau lewat tuh."

"Masih ada yang uji nyali nih keknya, uhuk! Keselek kenyataan nih gue hahaha,"

"Strong girl katanya, mana ada nyerah gitu aja. Sekalipun udah trauma wong caper mana mungkin mau kehilangan tatapan bangga guru-gur Stia Nusantara. Kan, cuma itu doang yang bikin dia bahagia, wajar sih. Budak smart unlimited bikin najis!"

Hug me, please!Where stories live. Discover now