1st Moment - Begin

26.9K 2.1K 69
                                    

Surabaya, Juli 2017.

Refki meneguk sisa kopinya dan beranjak untuk membuang gelas sekali pakai itu ke tempat sampah dekat meja yang mereka singgahi. Rengga—salah satu civil engineer pada divisi teknik—menoleh dan menatapnya heran. Kantor sudah sepi ketika jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Namun, Refki terbiasa tidak pulang tepat waktu—pukul empat sore—karena merasa lebih nyaman untuk lembur di kantor. Belum genap satu tahun ketika dia mendapat promosi jabatan sebagai manajer teknik, tetapi tuntutan pekerjaannya mulai sulit dibendung.

"Rokok, Ref?"

Rengga menggeser rokoknya yang ada di atas meja. Keduanya sedang berada di area merokok yang letaknya di lantai dasar, bersebelahan dengan lobi. Area ini hanya akan ramai ketika memasuki jam makan siang dan jam pulang kantor. Maka ketika hari mulai gelap dan kantor mulai lenggang, tidak heran jika area ini hanya diisi oleh Refki yang menemani Rengga setelah memesan dua gelas kopi pada cafe terdekat.

Temannya itu keheranan ketika Refki menggeleng. Meski bukan untuk yang pertama kali. Dalam beberapa kesempatan, Refki kerap menolaknya. Namun, Rengga—juga beberapa teman merokoknya di divisi teknik, tidak juga menyerah untuk terus menawari Refki.

Selama satu bulan terakhir, Refki sengaja menghentikan kebiasaannya itu. Awalnya terasa sangat sulit dan ia mencoba dengan mengurangi porsi merokoknya. Mulai dari enam batang sehari, menjadi dua batang. Saat mulai terbiasa dengan hal itu, Refki mulai tidak menyentuh sebatang pun. Meski tetap saja, masih ada sekotak rokok di dalam laci dashboard mobilnya.

"Dari kemarin mau nanya, tapi lupa mulu. Kamu abis cek kesehatan, Ref? Divonis penyakit apa sama dokter?"

"Cok*, nggak gitu juga!"

Rengga spontan tergelak. Ikut beranjak dengan sekotak rokok di tangannya dan mensejajari langkah Refki menuju lobi.

"Abis putus dari Kila, kamu langsung alim. Nggak ngerokok. Kalau lagi ditawarin kopi, malah milih susu. Baru sore ini mau dipesenin kopi juga. Kamu abis bikin dosa besar terus mau tobat beneran?"

Refki mendengus. Selain dengan Welly, Rengga juga temannya yang tanpa ragu menanyakan hal-hal diluar pekerjaan. Juga selain Welly, Rengga mengetahui dengan baik sisi kehidupannya yang lain. Saling mengenal sejak duduk di bangku kuliah membuat keduanya mengaburkan batas-batas yang kerap terjadi antara atasan dan karyawan.

"Aku sama Kila nggak pernah pacaran, nggak bisa disebut putus."

"Sama-sama bubar juga, Ref," tandas Rengga. Refki belum sempat menimpali ketika pintu lift di samping kiri lobi terbuka.

Welly keluar dari kotak besi tersebut dan langsung melempar pertanyaan, "Jadi jemput Liv, Ref?"

"Jadi, Well."

"Oh, dia tobat gara-gara Adek cantik itu." Rengga menimpali dengan senyum mengejek, tidak memberi kesempatan Refki untuk menyahut lagi. "Serius mau ACC buaya ini, Well?"

Livia—akrabnya dipanggil Liv adalah Adik perempuan Lita satu-satunya. Perempuan itu menarik perhatian teman-teman Welly pada acara resepsi pernikahannya dengan Lita. Namun, hanya Refki yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan tersebut dengan meminta izin pada Welly dan Lita agar bisa mengenal Liv lebih jauh.

"Dia bolak-balik sepuluh kali ke aku sama Lita, Ga. Sebenernya belum cukup tapi daripada dia gila gara-gara kerja mulu dan nggak ada yang merhatiin, Lita akhirnya setuju."

Tawa Rengga berderai. Refki menyetujuinya tanpa membantah. Jika bukan Rengga di depannya, Welly pasti tidak akan mau membocorkan 'usaha' Refki yang begitu gigih untuk mendapatkan izin tersebut. Setelah melepaskan Kila beberapa bulan lalu, Refki tidak lagi terlibat dengan perempuan manapun. Sampai akhirnya ia menaruh rasa tertarik pada Liv di pertemuan mereka yang kesekian kali.

Too Night ✔Where stories live. Discover now