27th Moment - Boyfriend

8.8K 1.1K 26
                                    

Liv menusuk pentol bakar di dalam cup dan mengunyahnya pelan. Matanya tidak lepas menatap Gista—teman dekat sekaligus teman kelompoknya untuk tugas mata kuliah Analisis Hubungan Internasional, yang sejak tadi tidak mengalihkan tatapan dari layar laptop perempuan itu. Mereka baru saja mendapatkan tugas kelompok berpasangan dan Gista yang hari ini terlampau semangat untuk merampungkannya langsung, menahan Liv supaya tetap berada di kampus meski hari sudah gelap. Liv sudah menghabiskan setengah hari dengan membaca beberapa buku yang di pinjam dari ruang baca siang tadi untuk bahan materi tugas kelompok mereka. Sementara Gista merangkum studi kasus pilihan mereka.

Perempuan itu kembali menusuk pentolnya yang entah keberapa dan menyodorkan pada Gista. Temannya mendongak dan membuka mulut untuk menerima suapan Liv. Tidak peduli beberapa mahasiswa yang berlalu-lalang di selasar FISIP ini memperhatikan mereka. Liv tidak bisa jika tidak disandingkan dengan makanan saat sedang mengerjakan tugas. Gista tahu benar tentang itu dan tidak memprotes saat Liv membeli beberapa camilan untuk menemani mereka mengerjakan tugas.

"Liv, kita kurang satu teori lagi."

Liv mengernyit saat Gista menggeser notebooknya yang penuh dengan catatan materi siang tadi.

"Ah iya ... analisis kita yang poin C bisa dipatahkan gitu aja kalau nggak masukin teori." Kemudian Liv memberi tanda pada catatannya dengan pulpen. "Yaudah besok aja dilanjutin, bukunya nggak aku bawa."

Belum sempat Gista menimpali, seseorang memanggil namanya dari jarak beberapa meter. Liv menoleh dan balas melambaikan tangan pada Andrias yang selalu semringah jika bertemu dengannya.

"Eh, Dri, bawa buku postmodernism, nggak?" sambar Gista sewaktu Andrias duduk di sampingnya dan melongok pada layar laptopnya yang menyala. Laki-laki itu mengambil tempat di samping Liv. Selalu seperti itu setiap ada kesempatan.

Liv tidak bisa menahan kekehannya melihat Gista yang masih saja semangat mengerjakan tugas mereka. Sedangkan Liv sudah terlampau ogah-ogahan.

"Kasih pinjem, Dri. Biar dia bisa tidur nyenyak malem ini." Liv menyodorkan sebungkus kebab pada Andrias. "Nih makan dulu, abis itu bantuin aku sama Gista."

"Bukuku ada di Luna, telpon gih. Dia masih di sekre BEM," tukas Andrias sembari menerima sodoran kebab dari Liv. Gista ikut membuka tas plastik di sisi kanan meja dan mengambil makanan yang sama.

"Kenapa nggak kamu aja yang telpon, sih?" Meski menggerutu, Liv tetap mengeluarkan ponsel dari dalam totebagnya dan mencari kontak Luna—teman satu kelasnya juga perempuan yang sejak dulu naksir Andrias—pada aplikasi Whatsapp.

"Ogah." Andrias menjawab tanpa ragu. Setelah menelan kunyahan kebab pertamanya, laki-laki itu melanjutkan, "Harusnya Prof Wahyu milih kamu yang jadi partner kelompokku, Liv."

Gista tidak bisa menahan cibirannya ketika mendengar ucapan Andrias. Sudah menjadi rahasia umum bahwa presiden BEM periode saat ini menyimpan perasaan lebih dari sekedar teman pada Liv. Hanya saja Liv pura-pura tidak mengetahuinya demi kenyamanan bersama. Andrias sudah menjadi temannya sejak semester satu dan mereka sudah sering sekali berada pada kelas yang sama. Liv tidak mau membuat pertemanan mereka berantakan hanya karena salah satunya menyimpan perasaan lebih, dan salah satunya lagi tidak bisa menerima perasaan tersebut.

"Enak aja, Liv itu partnerku." Gista menyahut keki. Liv hanya bisa tersenyum-senyum sambil menunggu teleponnya dijawab oleh Luna.

"Nggak diangkat," kata Liv seraya meletakkan ponselnya kasar di atas meja dan menghabiskan pentol bakar di dalam cupnya dengan ganas. Lalu, tatapannya berubah memohon ketika menatap Andrias. Gista diam saja. Liv selalu punya cara paling ampuh untuk membuat orang-orang didekatnya takluk. Sepertinya, Liv tercipta untuk membuat siapa pun terpesona. "Telponin dong, Dri. Kalau dia minta kamu nyamperin ke sekre, aku yang ambil bukunya."

Too Night ✔Where stories live. Discover now