24| Cemburu •

5.7K 456 8
                                    

'Menimpakan tuduhan. Tapi itu datang sebab aku tidak suka pria lain menaruh rasa padamu. Aku cemburu, Dek.'
_________________

Tidak ada percakapan yang terjadi antara Nia dan Ibra selepas pulang dari kampus. Pikiran keduanya melayang pada percakapan yang terjadi antara mereka dan Pak Ghofar sebelum pulang mengenai Ridwan yang menjenguk Nia tepat di hari yang sama ketika Ibra memohon pada Haidar agar diberikan ijin bertemu dengan Nia namun ditolak. Membuat Ibra merasa kalah cepat oleh Ridwan. Ibra bahkan menekuk wajahnya setelah Pak Ghofar meinggalkan ruangannya. Berjalan mendahului Nia menuju parkiran mobil di fakultas. Mengabaikan pertanyaan yang Nia berikan mengenai alasan Ibra mendiamkannya sejak tadi hingga membuat Nia memilih ikut bungkam.

Nia memberikan Ibra ruang berpikir jernih sebelum meluruskan sesuatu di rumah yang dirasa menjadi penyebab Ibra mengunci bibirnya rapat-rapat.

Nia berjalan mengambil bungkusan makanan yang tadi siang dibeli Ibra dalam kulkas. Menuangkan soto dalam panci kecil lalu dipanaskan. Menyimpan siomay di dalam kotak makan lalu kembali dimasukkan dalam kulkas.

Mata Nia mengamati Ibra yang duduk sambil meneguk air dalam gelas, menatapnya yang masih dengan raut kurang bersahabat.

“Mana siomay saya?” Nia membuka kulkas, mengambil kotak berisi siomay lalu meletakkan di atas meja makan. Membuka tutupnya, meletakkan sendok di atasnya, menyerahkan pada Ibra sambil mengulas senyum. Sadar, jika suaminya pasti tidak akan lama memendam amarah padanya.

Ibra mengabaikan Nia. Mengambil siomay itu lalu memakannya hingga tanpa sisa kemudian mengamati Nia yang sibuk dengan piring kotor.

“Jadi alasan tidak menjawab panggilan Mas waktu itu karena ada Ridwan? Bagus, suamimu ini ternyata tidak begitu penting. Bahkan dari sosok yang bukan mahram denganmu,” desis Ibra yang mampu didengar cukup jelas oleh Nia yang ada di dapur.

Jarak meja makan dengan dapur hanya disela ruang kosong sempit, terlebih di tempat itu hanya ada mereka berdua. Membuat suara sekecil itu pasti dapat didengar.

Gerakan tangan Nia mencuci piring di bak cuci piring terhenti. Berbalik, menatap Ibra dengan raut wajah kecewa. Tidak menyangka sosok suami yang baru kemarin dia berikan kesempatan menjaga hatinya kembali menorehkan luka. Bahkan memberikan tuduhan melakukan hal yang dalam pikirannya sendiri tak pernah terlintas. Inikah yang Ibra pikirkan tentangnya?

“Bahkan mungkin kamu lebih menyukai keberadaannya ketimbang memberitahukan keberadaanmu pada saya.”
Memang benar Nia sempat tidak berniat memberikan kabar, mengingat rasa sakit yang baru dia dapatkan dari Ibra. Terlebih dia tidak mau Ibra khawatir atau mungkin hanya merasa kasihan padanya. Tapi bukan hanya itu, ponselnya saat itu juga sedang disimpan kakaknya. Ketika tersadar saja dia tidak bisa banyak bergerak mengingat kondisinya belum pulih benar.

“Mudah sekali kamu mengatakan itu, Mas. Menimpakan tuduhan yang sama sekali tidak kulakukan.”

Ibra bangkit dari posisinya. Menghampiri Nia yang mematung sambil menatapnya dengan bibir tersenyum kecut.

“Lalu Mas harus bagaimana? kamu bahkan tidak menolak perasaan Ridwan.”

Nia memberanikan diri menatap tajam Ibra, melangkahkan kaki untuk menghampiri Ibra.  Menggeleng pelan dengan mata yang menahan genangan air di sana. Kian penuh seiring langkah Nia menuju Ibra menipis. Menunjuk dada Ibra sambil mengontrol kecamuk di dada.

“Mas tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Apa yang menjadi alasan keberadaan Ridwan di sana. Alasan Mas Haidar mengijinkan dia menemuiku,” kata Nia dengan suara yang mulai bergetar. Menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan isakan.

Air mata yang susah payah Nia bendung akhirnya luruh. Mengucur deras disertai suara isakan pelan dari bibir Nia. Membuat Ibra tersadar akan sikapnya. Kembali menyakiti Nia dengan menuduh tanpa tabayyun. Hanya rasa tidak menentu dalam dada yang dijadikan pegangan bibirnya mengucapkan kalimat menyakitkan tadi. Sungguh, dalam hatinya sama sekali tidak berniat menyakiti hati Nia.

Tangan Ibra terangkat, berusaha menghapus air mata Nia, namun seketika ditahan Nia sebelum tangan itu mendarat di pipinya.

“Tidak seharusnya kamu seperti ini, Mas. Semua yang kamu tau tidak sepenuhnya benar, karena hanya dari penggalan kejadian sebenarnya.”

Nia mundur, mengambil ponselnya yang ada di minibar dapur lalu membuka aplikasi chat, menyerahkan pada Ibra. Meminta Ibra mengecek sendiri semua obrolan di sana.

Nia pergi menginggalkan Ibra yang terpaku, mengusap wajahnya kasar. Menatap kepergian Nia menuju kamar dengan rasa bersalah. Harusnya dia tabayyun, bukan malah menuduh Nia yang bukan-bukan.
.
.
.
.
Versi lengkap part ini ada di novel

***

Semarang
3 Februari 2020

Senin (Revisi)
23 Januari 2023
1 Rajab 1444

Istri Pak Dosen [End]Onde histórias criam vida. Descubra agora