Bab 1

40 3 0
                                    

Ghaida melahap sarapan nasi gorengnya sambil terus melirik jam tangan.

"Pelan-pelan, Da. Nanti tersedak." Ujar ibu yang hapal betul dengan kekhawatiran anak sulungnya. Kalau terlambat absen, uang kehadiran per harinya akan dipotong.

Ghaida mendongak sekilas saat ibunya menyodorkan sebuah cangkir berisi sari lemon dan madu yang diseduh dengan air hangat. Ghaida meraih cangkir dari tangan ibu dan menyesapnya pelan-pelan. Pada tegukan pertama wajah Ghaida sontak berkerut-kerut menahan rasa asam.

"Ini lemonnya berapa sendok, Bu?"

Ibu mengingat-ingat, "Satu sendok makan, seperti biasa."

"Madunya?"

Ibu mengangkat sebentuk botol sebesar botol sirup yang telah kosong. "Sudah Ibu pesan tapi belum datang lagi."

Ghaida mencibir sebal. Pantesan hasyeeeuumm. Sudah kepalang tanggung, Ghaida menenggak cepat isi cangkirnya lalu bergegas meraih segelas air putih.

Ibu memanggil-manggil Medina untuk segera sarapan. Setelah beberapa kali panggilan akhirnya pintu kamar itu berderit membuka. Adik satu-satunya Ghadia—yang baru saja lulus kuliah enam bulan yang lalu—muncul dengan rol masih menggulung poni. Hidung Ghaida sontak mengernyit saat membaui sesuatu ketika adiknya melintas.

"Kamu pakai semprotan pengharum ruangan?"

Medina mendelik lebar-lebar. "Sembarangan aja pengharum ruangan. Ini parfum baru aku. Kemarin ada diskon di mall. Dari Rp 500.000 diskon setengah harga jadi cuma Rp 250.000."

Ghaida mengelus dada. Duit segitu bisa beli gamis satu stel. "Udah belanja-belanja aja. Emang sudah gajian?"

Medina menarik kursi di depan Ghaida lantas duduk sambil mengibaskan rambutnya dengan kenes. "Udah, dong. Kan, aku masuk kerjanya pas tengah-tengah bulan."

Ghaida mengangguk samar. Iya juga. Gaji di perusahaan tambang, kan, gede.

"Ini wangi pengharum ruangan yang baru, ya? Enak juga." Ayah muncul dari ruang tengah dengan setelan kaos kutang dan sarung.

"Ayah ngaco, deh! Ini wangi parfum aku." Media mencak-mencak sebal. Ghaida terpingkal-pingkal melihat rol di poni Medina yang bergerak naik-turun waktu ia menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil.

"Aku tahu, Yah. Kantornya Medina itu lagi penghematan. Makanya dia dengan suka rela pakai parfum banyak-banyak supaya kantornya wangi. Eficiency."

Tawa pecah seketika. Hanya Medina yang bersungut-sungut marah. Mau diteruskan juga percuma. Dia kalah telak. Tiga lawan satu.

"Emangnya Kak Ida. Enggak mau pakai parfum sampai bau ketek. Ih jorok!"

Ghaida sontak membaui bahu dan kerudung cokelat susunya. "Oh tentu tidak. Sudah pakai deodoran ini. Wanginya tahan sepanjang hari." Ghaida mengacungkan jempol seraya menirukan selogan iklan di tivi.

Medina mencibir sambil terus berkaca dengan kamera depan ponsel pintarnya.

Ghaida melirik polesan make up di wajah Medina. "Itu lipstik apa enggak kemerahan warnanya?" Ghaida memelankan suaranya dengan hati-hati. Ia telah memprediksi respon macam apa yang akan Medina tunjukkan.

Medina meletakkan ponselnya di atas meja makan lalu mendesah jengkel. "Enggak usah kayak cewek-cewek hijaber yang nyinyir di sosial media, deh. Bibir, bibir aku. Lipstik juga aku beli pakai uang sendiri. Mending urusin tuh penampilan Kak Ida. Mau ngantor kok pakai daster. Kayak mau ke pasar aja." Cerocos Medina dalam satu kali napas.

Ghaida tersentak tapi tidak lama. Hanya satu detik saja. Sekejap berikutnya Ghaida bangkit dari kursi lalu berdiri bersisian dengan ibu yang sedang mengaduk kopi hitam untuk ayah.

Sepotong Maaf Untuk GhaidaWhere stories live. Discover now