Bab 7

17 1 0
                                    

"Aku enggak paham lagi, Ma." Keluh Ghaida tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamar Salma. Ujung tungkai kaki yang menggantung di sisi tempat tidur itu bergerak-gerak resah. Dipan kayu milik Salma jadi berderak-derak pelan.

"Udah nanya ke guru? Biasanya kamu sering nanya di kelas kalau enggak paham." Celetuk Salma. Ujung tungkai Salma yang ikut berebah di samping Ghaida jadi ikutan bergoyang-goyang kecil.

"Tama, Ma. Maksudku, Tama." Ralat Ghaida sedikit kesal.

Salma menoleh. "Kenapa lagi, tuh, anak direktur?"

Ghaida menghela napas lalu ia hembuskan kuat-kuat sampai menggelembung pipinya. "Makin hari, makin gila dia. Aku enggak habis pikir."

Salma meraih guling lalu beringsut menghadap Ghaida. "Dia nyuruh kamu nyuci piring di kantin lagi?"

Ghaida menggeleng lalu mengangguk. Salma mengernyit bingung.

"Kayaknya itu anak lagi seneng bikin aku jadi tukang bersih-bersih, deh." Ghaida masih menatap langit-langit bercat putih seolah di sana sedang diputar ulang adegan Ghaida membersihkan sampah-sampah di mejanya seperti film layar tancap.

Ghaida berbalik menghadap Salma. "Kamu tahu tadi pagi Tama nyelipin apa di laci mejaku?"

Salma menggeleng. "Makanan basi! Ya Allah, Ma. Baunya busuk banget. Anak-anak sekelas pada marah-marah ke aku. Ngeselin banget, kan, Ma." Ghadia bercerita dengan wajah bersungut-sungut jengkel.

"Emang kamu lihat sendiri Tama yang naro makanan basi itu ke laci?"

Ghaida memutar bola matanya dengan ekspresi, ya ampun, Salma. Please deh! "Aku enggak lihat langsung, tapi paman-paman cleaning service yang lihat. Tiba-tiba mereka minta maaf ke aku karena enggak bisa bersihkan mejaku dari sampah."

"Itu, kan, kerjaannya paman cleaning service. Kenapa dia enggak bisa bersihkan mejamu sebelum kelas di mulai?"

Ghaida mencubit pipi Salma sambil mendelik-delik geregetan. "Lain cerita kalau paman cleaning servicenya diancam dipecat sama Si Paduka Raja Hutama Hamzah."

Salma mengaduh mengusap-usap pipinya sambil manyun. "Sakit, Da..."

"Sama! Aku juga sakit hati sama dia!" Balas Ghaida ketus. "Pak Abas yang bertahun-tahun jadi guru aja bisa lenyap dalam sekejap. Apa kabar paman cleaning service? Ini enggak adil, Ma! Ini sekolah atau apaan, sih? Drama banget kayak sinetron." Ghaida beranjak duduk di tepi tempat tidur sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Terbersit perasaan jeri di hati Salma mengingat ayahnya sendiri adalah guru agama Islam di SMU Sebangsa Berbakti. Posisi Ghaida juga sama sulitnya karena ayah Ghaida adalah manager eksekutif di perusahaan batu bara milik ayahnya Tama. Salma ikut duduk di samping Ghaida dengan wajah lesu. Ghaida turut melunak dengan wajah memelas Salma yang juga tak punya ide bagaimana caranya menghadapi kegilaan Tama dan para ajudannya.

Salma melepas guling, turun dari tempat tidur, dan berpindah duduk di kursi meja yang menyatu dengan lemari baju. Mana tahu ia bisa dapat ide kalau pindah duduk di meja yang dekat dengan jendela.

Pintu lemari terbuka sedikit. Salma mendorongnya dengan ujung kaki tapi pintunya enggan menutup. Salma meraih lipatan kertas yang biasa ia pakai untuk mengganjal pintu lemari agar bisa ditutup.

Ghaida tanpa sengaja memperhatikan gerak-gerik Salma dengan pintu lemari itu. Sorot matanya tanjam menatap lipatan kertas dan bentuk lemari yang tak lagi simetris dengan pintunya karena faktor usia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 21, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sepotong Maaf Untuk GhaidaWhere stories live. Discover now