Bab 2

18 2 4
                                    

Kening Ghaida berkerut samar memusatkan konsentrasi. Pulpen di tangan kanannya bergerak-gerak cepat, gesit mencatat. "Afwan, Ustadzah. Surah Al Baqarah ayat berapa tadi?"

"Ayat 208. Yā ayyuhallażīna āmanudkhulụ fis-silmi kāffah." Wanita berkerudung hitam yang biasa Ghaida sapa dengan Ustadzah Endang menjawab seraya menyorongkan sebentuk mus'haf ke arah Ghaida. Tadinya mus'haf tersebut diarahkan kepada Salma yang duduk di sisi kanan Ghaida. "Afwan, Ustadzah. Lagi halangan." Ujar Salma penuh santun. Maka bergeserlah mus'haf berwarna hijau itu ke arah Ghaida.

Segera Ghaida menyelesaikan catatannya lalu menyambut mus'haf yang telah terbuka. Ghaida membaca kalimat taawuds dan Surah Al Baqarah ayat 208 dengan fasih berikut dengan artinya.

Ustadzah Endang tersenyum dari balik niqab hitamnya. "Masya Allah, Mbak Ghaida. Sudah ada kemajuan. Makhorijul hurufnya semakin baik."

Salma mengekeh geli. Ghaida mesam-mesem kecut tapi senang. Salma yang paling tahu bagaimana susahnya Ghaida berlatih melafalkan huruf-huruf tebal yang diucapkan melalui pangkal lidah seperti Tho', Dho' dan Gain. Salma mengajari Ghaida sampai jengkel. Ghaida berlatih sampai mual sendiri. Tapi setidaknya usaha Ghaida kini membawa hasil.

"Di surah ini perintah Allah sudah sangat jelas." Ustadzah Endang menunjuk satu kata di dalam mus'haf yang masih Ghaida pegang. "Kaffah. Keseluruhan. Sama seperti saat kita berkerja di sebuah perusahaan. Tentu ada kewajiban bagi karyawan untuk mematuhi seluruh peraturan yang ada di perusahaan tersebut. Islam juga demikian. Wajib bagi umat muslim menaati seluruh aturan Islam." Ghaida dan Salma mengangguk nyaris bersamaan.

Sesungguhnya materi halqah sore itu bukanlah hal baru di telinga Ghaida. Namun ada kalanya ia lupa dan merasa perlu diingatkan. Kendati demikian, tak ada setitik pun rasa bosan di hati Ghaida. Sungguh ia butuh nasihat ini. Sangat butuh.

Ustadzah Endang membuka buku catatannya dan menunjukkan sebuah diagram lingkaran yang terbagi dalam tiga bagian. Ghaida juga tak asing dengan diagram itu. Ini adalah skema persentasi bagaimana umat Islam beribadah kepada Allah. Seperempat bagian pertama adalah tentang ibadah langsung antara manusia dengan Allah melalui aqidah dan ritual ibadah seperti shalat, puasa serta bersedekah. Seperempat bagian kedua adalah bagaimana Islam mengatur tata cara kehidupan manusia seperti makan, minum, cara berpakaian dan adab berinteraksi dengan sesama umat manusia. Tersisa bagian terakhir sebesar setengah lingkaran—bagian paling besar dari ketiga dimensi—adalah Islam yang mengatur kebutuhan interaksi antar manusia dari berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pergaulan antara laki-laki dengan perempuan, sistem pendidikan, sistem perdagangan dan masih banyak lagi.

Serta-merta tersentil hati Ghaida tatkala ia teringat Medina yang belum mau mengenakan kerudung. Lalu ia teringat ibu yang dari dulu selalu memanjakan Medina sampai-sampai tak tersisa rasa hormat di benak Medina untuk kakaknya sendiri. Mendanau air mata Ghaida mengingat ayahnya. Laki-laki yang akan bertanggung jawab atas seluruh perbuatan istri dan anak-anaknya selama di dunia.

Ustadzah Endang sengaja memberi jeda pada tausiahnya untuk meraih tangan Ghaida. Menetes air mata Ghaida seketika. Agaknya wanita berbilang 52 tahun ini paham masalah apa yang tengah Ghaida hadapi semenjak gadis ini memutuskan berhijrah 10 tahun silam.

"Membuka jalan dakwah memang enggak mudah tapi bukan berarti enggak bisa."

Ghaida tersenyum mendengar lembutnya suara Ustadzah Endang. Hangat tangan Salma yang mengusap air mata Ghaida dengan penuh sayang. Hangat pula hati Ghaida.

"Allah sudah janji. Allah akan menolong umat-Nya yang menolong agama Allah. Allah pasti akan tolong saya." Ujar Ghaida tanpa sedikit pun rasa ragu. Mata yang telah berair itu berkilat penuh keyakinan.

Sepotong Maaf Untuk GhaidaKde žijí příběhy. Začni objevovat