Chapter 8

33 7 0
                                    

Aku bangun sebelum cahaya kemerehan merekah di timur. Aku bergguling ke arah lain dan berusaha untuk tidak terkesiap saat mendapati tubuh Harry di sebelahku.

Kemarin ia benar-benar memintaku untuk tetap di sini. Entah setengah bermimpi atau tidak, yang jelas itu sukses membuatku merasa senang.

Kasur sedikit berderit saat aku bergerak untuk turun. Beruntunglah Harry masih tertidur pulas. Kupikir dia kelelahan karena tidak menyadari gangguanku.

Aku mengikat rambutku dengan cepat dan bergegas ke dapur untuk membuat pancake. Kali ini aku membuatnya dengan campuran buah-buahan kering yang ada di lemari. Aku tidak begitu memperhatikan bagaimana itu terlihat, tapi kuharap itu tidak terlalu buruk.

"Kenapa kau bangun sepagi ini?" Harry sudah bangun saat aku kembali ke kamar.

"Aku tidak tahu." Aku menggedikan bahu sementara dia menyuguhkan senyumnya. Ini pasti bukan kenyataan. Melihat dirinya di pagi hari, berada di tempat tidur, berbicara dengan suara serak, mengacak rambut ikalnya yang tidak teratur dan mengusap mata hijaunya yang setengah terbuka. Itu tidak terjadi di dunia nyata, tapi itu terjadi sekarang.

"Kemarilah." Aku merasa de javu karena sudah mendengar kata itu dua kali sejak kemarin.

Aku naik ke tempat tidur dan berbalik menghadapnya sementara dia melakukan hal serupa dengan menopang tubuhnya menggunakan siku.

"Aku membuat sarapan." Aku memulai karena dia tak kunjung memecah keheningan.

"Kau tidak perlu bangun sepagi ini hanya untuk membuatkanku sarapan."

"Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya kebetulan bangun." Aku tertawa.

"Apa yang kaubuat? Pancake?" Dia menebak.

"Bagaimana kau tahu?"

Aku nyaris tidak menyadari pergeseran atmosfer di antara kami. Harry bergerak lebih dekat dan hanya menyisakan beberapa inci dari tubuhku.

"Itu bukan hal yang paling sulit untuk ditebak." Harry berujar dan aku merinding. Aku tidak tahu apakah itu karena suaranya yang dalam atau karena tatapannya yang gelap.

"Kurasa begitu." Aku berdeham, membersihkan tenggorokanku.

Telepon yang berdering di atas nakas sukses mengalihkan perhatian kami dan itu adalah milikku. Segeralah aku meraihnya dan mendengar suara Syd beberapa detik setelahnya.

"Halo, Syd."

"Tidak, aku sudah bangun." Aku bisa melihat tatapan Harry masih tertuju padaku.

"Ya, aku akan memberitahunya. Sampai jumpa." Aku mematikan panggilannya dan menaruh benda itu kembali ke tempat semula.

"Kau harus bersiap-siap. Mereka akan datang lebih awal." Aku menginfokan sementara Harry mengerang tidak setuju dan berpura-pura tertidur.

Aku tertawa dan bergerak ke arahnya hanya untuk mendorong bahunya. "Oh sayang sekali kau kembali tertidur."

"Kalau begitu beritahu dia untuk tidak datang." Harry membuka matanya dan aku dapat menemukan sekelibat humor di matanya.

Kami memakan sarapan kami dengan cepat sebelum Syd datang. Harry mengejek inovasi buatanku, tetapi aku bersikap sangat dewasa dengan menghiraukannya dan menjulurkan lidah ke arahnya.

Syd memberikan resep pretzel andalannya yang ia cari di internet kepadaku dan saat aku bertanya untuk apa itu, dia mengatakan bahwa aku dan Harry akan memasak pretzel hari ini.

Sejujurnya aku belum pernah membuat pretzel, tapi itu adalah salah satu makanan yang paling kusukai semasa kecil. Menyenangkan rasanya jika mencoba hal-hal baru yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Ditambah fakta bahwa kali ini Harry akan bergabung denganku. Dia akan memasak. Betapa lucunya itu di bayanganku.

Setelah aku bersiap, aku bergabung dengan Harry di dapur dan berusaha untuk mengabaikan kehadiran kamera di depanku.

Aku meminta Harry menuangkan tepung ke dalam mangkuk. Namun, yang dia lakukan hanyalah menumpahkan sebagian isinya ke lantai.

"Kau benar saat mengatakan kau tidak bisa memasak." Aku menggoda dan dia mengangkat bahu seolah berkata 'sudah kubilang'.

"Kalau begitu kau bertugas memanggang."

Aku segera menyelesaikan adonan sementara Harry hanya bertengger dekat oven, menungguku selesai. Setelah itu aku menaruhnya di loyang dan memberikannya pada Harry.

"Aku ahli dalam ini." Dia terkekeh sebelum mengatur suhu oven dan memasukan loyangnya.

Harry mengusap telapak tangannya dan menatapku dengan angkuh sebelum berkata, "Dua puluh menit dan kau akan melihat hasilnya."

"Aku percaya itu." Aku mengigit bagian bibir bawahku agar tidak mentertawakan gagasannya.

Dahinya mengernyit dan dia berjalan ke arahku sebelum aku bisa menyadari bahwa dia mengusapkan sisa adonan tepung ke wajahku.

Aku membulatkan mataku dan dia tertawa.

"Harry, Apa yang kau lakukan?!" Aku merengek dan menunjuk pipiku yang penuh tepung.

"Maaf." Dia menunjukan wajah tidak bersalah.

"Beruntunglah aku bukan pendendam," ujarku sembari melipat tangan depan dada. Dia mengangkat aslinya padaku dan mengangguk beberapa kali, tetapi dia tampak lengah saat aku membalasnya dengan menaruh lebih banyak adonan di wajahnya.

"Hei, kau bilang kau bukan pendendam!" Dia nyaris berteriak dan aku tak bisa menahan tawa saat dia berupaya menghilangkan tepung itu dari wajahnya karena yang ia lakukan hanyalah membuat adonannya semakin menyebar.

"Memang tidak." Aku tersenyum jahat dan mengambil adonan lagi hanya untuk ditaruh di pipinya yang lain.

"Kurasa sudah cukup." Dia mengerutkan hidungnya dan berjalan lebih dekat ke arahku.

"Kurasa belum," ucapku main-main. Ketika aku hendak melakukannya lagi, tangan Harry beralih ke pinggangku dan aku berteriak kaget saat dia mengangkatku ke konter, membuatnya tertawa keras hingga matanya tertutup.

Setelah setengah jam dihabiskan untuk tertawa dan tertawa, oven berbunyi dan aku mengeluarkan pretzel itu sebelum menyusunnya di piring. Warnanya agak terlalu cokelat, mendekati hitam, bentuknya memang agak mengerikan bahkan lebih buruk daripada sebelumnya, tapi kupikir itu bukan masalah selama rasanya enak.

Aku membuktikan perkataanku dengan meraih satu dan memakannya. Saat itu sampai di tenggorokanku, aku ingin mengeluarkannya kembali. Rasanya pahit dan bagian bawahnya gosong. Ini bahkan lebih buruk dari kelihatannya.

"Ini enak." Harry mengejutkanku dengan mengatakan hal itu, tapi aku tahu dia berbohong hanya dengan melihat raut wajahnya yang datar.

"Kau benar." Aku mengangguk setuju.

Truly Madly DeeplyWhere stories live. Discover now