BAB 12

3.4K 123 7
                                    

Bi Darsih tergopoh keluar membukakan pintu pagar setelah kubunyikan klakson mobil. Mata wanita paruh baya itu tak henti menatapku. Seperti tak percaya aku datang bersama Kirana dan Bu Lili.

Setelah mobil terparkir di halaman rumah, kubantu Bu Lili turun masih dengan menggendong Kirana yang terlelap. Mata kami bertemu, entah kenapa dadaku jadi berdebar tak karuan. Mata bulat itu seperti menyimpan arus listrik. Aku berjalan mundur menghalau pikiran yang mulai macam-macam.

"Sini, Bu, saya gendong Kiran!" pinta Bi Darsih membuyarkan pikiran kotorku. Kuusap tengkuk yang tak gatal. Salah tingkah sendiri.

Raut wajah Bi Darsih terlihat tegang. Mungkin dia takut dimarahi Dahlia karena keberadaanku, tetapi juga segan kepadaku.

Bu Lili menyerahkan Kirana pada wanita yang sudah bekerja di rumah ini sejak awal kami tempati. Kirana tampak masih begitu pulas. Hanya menggeliat sebentar kemudian terlelap lagi dalam gendongan Bi Darsih.

Bi Darsih menatapku dengan tatapan ragu, kemudian beralih menatap Bu Lili.

"Mari, Bu, masuk dulu!" ucapnya.

"Terima kasih, Mba. Saya langsung kembali ke sekolah saja," ucap Bu Lili.

Guru Kirana itu mengangguk pamit kepadaku dan Bi Darsih. Kemudian berlalu.

Dari belakang kupandangi wanita itu sampai menghilang keluar pagar. Bodinya biasa saja, tetapi entah kenapa setiap bersamanya seperti ada magnet yang membuatku tertarik memperhatikannya.

Hei, Bas! Pikiran macam apa itu? Fokus sama Dahlia!

Mungkin benar kata Gina kalau aku buaya buntung. Eh, enak aja! Gini-gini cintaku terpatri utuh untuk Dahlia.

Bi Darsih masih tertegun. Dia pasti takut aku ikut masuk dan meciptakan masalah untuknya.

"Bawa Kiran ke kamar, Bi!" titahku setelah menyadari Bi Darsih hanya mematung.

Wanita itu mengangguk kemudian menatapku dengan tatapan takut dan melangkah memasuki rumah.

Aku mengekorinya. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya.

Menunggu Bi Darsih menidurkan Kirana, aku melihat-lihat ruang tamu dan ruang keluarga. Kuhela nafas panjang. Ruangan rumah ini tampak berbeda. Tak ada lagi foto pernikahan kami yang dulu terpajang di dinding. Bahkan perabotnya pun sudah berganti. Dahlia sepertinya benar-benar sudah membuang semua kenangan denganku.

Ah, Dahlia!

Aku menoleh saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Bi Darsih keluar dengan nampan berisi cangkir yang asapnya masih mengepul. Kemudian meletakkan cangkir itu di meja.

"Silahkan, Pak!" ucapnya.

Aku tersenyum melihat Bi Darsih yang tampak masih tegang. Ia pasti tak nyaman dengan keberadaanku di sini.

"Duduk, Bi! Saya ingin ngobrol," perintahku.

Bi Darsih tampak ragu, tetapi akhirnya dia duduk di sofa juga.

"Bi, sejak kapan Mba Onah enggak di sini lagi?" tanyaku sambil memperhatikan wanita paruh baya itu yang sejak tadi sibuk dengan jari-jarinya.

Bi Darsih mengangkat wajahnya menatapku kemudian menjawab, "su .... sudah lumayan lama, Pak."

Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa Dahlia enggak cari penggantinya?"

"Emh, anu. Bu Dahlia yang meminta Mba Onah berhenti."

Dahiku mengernyit mendengar penjelasan Bi Darsih. "Kenapa?"

"S .... saya enggak tahu, Pak." Bi Darsih menjawab masih dengan menunduk menautkan jemarinya.

"Jadi selama ini Kiran sama siapa?" kejarku.

"Di rumah sama saya, kadang juga ikut Ibu," jelasnya.

Aku hendak kembali bertanya, tetapi urung karena terlihat Dahlia memasuki rumah dengan langkah lebar. Wanita itu menatapku tajam. Tampak sekali tak suka dengan keberadaanku.

Bi Darsih berdiri dan mengangguk pamit kepadaku dan Dahlia, kemudian berlalu.

Dahlia duduk tanpa melepaskan pandangannya dariku. Mata sipit itu seolah menyimpan bara yang hendak ia tumpahkan kepadaku.

Tak mau terintimidasi, aku bersikap santai saja. Toh, rumah ini rumah kami. Lagi, sampai saat ini kami masih suami istri.

"Mau apalagi kamu?" geramnya.

Aku hanya menghela nafas, membiarkan Dahlia menumpahkan isi kepalanya.

"Kenapa enggak menghilang selamanya saja!" Nada suaranya kini meninggi. Terdengar begitu emosi.

"Pergi dari kehidupan kami selamanya! Jangan pernah menampakkan diri di depanku lagi!" tegasnya.

Aku masih diam. Menunggu dia tuntas mengeluarkan isi kepalanya.

"Tiga tahun ini hidup kami begitu tenang, kenapa kamu harus kembali mengusik?" Mata sipit itu nyalang menatapku. Tak terlihat lagi cinta yang dulu begitu besar untukku di sana.

Aku menghela nafas, agar terkesan santai. Tak mau meladeni emosi Dahlia.

"Melihat bagaimana kehidupanmu dan Kirana saat ini, membuatku semakin bertekad untuk kembali pada kalian," ucapku mantap.

Mata sipit itu melebar mendengar ucapanku. "Ck, tak tahu malu! Kamu pikir kamu siapa?"

"Kenapa Bi Onah kamu berhentikan?" tanyaku tak menghiraukan ucapannya.

"Apa urusannya sama kamu?" ketus Dahlia.

"Tentu itu urusanku!" Aku tak mau kalah darinya. Apalagi ini menyangkut Kirana. "Kamu tahu seperti apa Kiran harus bermain sendirian menunggu kamu? Tadi dia sampai kelelahan! Sampai tidur bahkan saat kami masih berada di sekolah! Apa kamu enggak mikir itu?"

"Heh! Enggak usah sok peduli. Kamu bukan siapa-siapa!" ucapnya dengan nada mengejek. Bahkan bibir tipisnya tersenyum merendahkan.

"Terserah, tapi aku enggak rela kamu terlantarkan Kiran."

"Kiran? Terlantar?" tanyanya dengan nada meninggi. Aku tahu Dahlia pasti tak terima dengan ucapanku. "Pantaskah kata-kata itu keluar dari mulut baj*ngan sepertimu?"

"Aku papanya!" tegasku. Tak mau kalah dengan Dahlia.

"Tapi kami tak butuh kamu. Secepatnya akan kuurus perceraian kita. Aku mau, kamu jangan pernah mengusik kehidupan kami lagi," ucapnya tegas.

"Dahlia!"

Cerita selengkapnya ada di KBM App sama Joylada ya say..
Yuk terusin baca disana!

RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang