BAGIAN 4

5.7K 359 32
                                    

Safira masih tersedu di sofa. Jikapun menangis, aku yakin itu bukan karena menyesali perbuatannya itu hanya air mata buaya betina. Dulu pun begitu menangis sampai aku mau memaafkan. Nyatanya setelah maaf kuberi dia bertingkah lagi.

Kutinggalkan dia di sofa ruang tamu. Kaki ini melangkah menuju kamar. Baru saja hendak mengganti kaos dia merangsek memelukku. Ya, beginilah wanita. Saat ketahuan salah dia akan berakting jadi manusia paling sengsara. Dan jika lelaki tak mau mengampuni dianggap egois tak punya hati.

"Hentikan ini, Fir!" Kucoba melepas tubuhnya yang kini melekat seperti permen karet.

"Mas maafin aku dulu!" rengeknya seperti anak kecil.

"Percuma."

"Aku janji enggak akan ulangi lagi."

Dan selalu seperti ini. Tangan dan bibirnya lincah ke sana kemari menjelajahi tubuh ini. Membuatku kelimpungan sendiri. Kembali wajah Dahlia seolah di depan mata. Aku kembali tak bisa melakukannya dengan Safira.

"Okey, okey, okey. Cukup, Fir!" Aku melepaskan diri dari keagresifannya. Tubuh ini terlalu lelah untuk melayani hasratnya.

"Kenapa?" tanyanya kecewa.

"Aku cape, besok saja. Okey?" Kucubit gemas pipinya menutupi kerinduanku pada Dahlia yang semakin menggelora.

"Selalu begitu!" serunya.

"Aku cape pingin istirahat, Fir." Kupegang lembut kedua tangannya.

"Kapan kamu mau menyentuhku? Aku wanita normal, Mas." Safira membuang muka. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Iya, aku tahu. Tapi tidak malam ini. Aku cape, okey?"

"Kenapa kamu harus marah aku dekat dengan pria lain sedang kamu tak menginginkanku lagi? Di otakmu cuma Dahlia, Dahlia, Dahlia. Kembali saja sana sama dia! Daripada kita sama-sama tersiksa."

"Besok kita belanja, okey?"

"Kamu pikir aku wanita matre seperti wanita yang menginginkan lelaki hanya untuk bisa hidup enak? 
Kamu salah, Mas. 
Kamu tahu siapa orang tuaku. 
Tanpa menikah denganmu pun aku sudah kaya dari lahir!
Aku butuh kamu, Mas. 
Bukan uangmu! 
Aku mau kamu seutuhnya. Enggak seperti ini."

Air mata Safira kembali menganak sungai. Bingung aku harus berkata apa. Yang dia katakan benar adanya. Bahkan aku pergi tanpa membawa apa-apa.

Kurengkuh wanita yang dulu mampu membuatku terlena lupa akan Dahlia. Kubiarkan dia mengeluarkan kesedihannya. Sungguh rasa cintaku pada Dahlia memang belum berkurang sedikitpun. Malah makin lama terpisah semakin membara. Dan aku tak lagi bisa menjaga perasaan Safira.

Setelah Safira tenang, kuajak dia istirahat. Kubelai rambutnya. Berkali kuciumi puncaknya sembari berkali-kali mengucap kata maaf. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Karena nyatanya aku yang membawanya dalam kemelut ini. Andai dulu aku tak setamak itu, tentu semua ini tidak akan terjadi. Safira bahagia dengan kekasihnya. Dan aku bahagia dengan Dahlia. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mau tak mau harus kumakan juga.

.

Aku merasa sesuatu yang dingin menempel di pipi. Kemudian pipi satunya diusap lembut. Meski masih berat kubuka mata. Dahlia?

"Ma, Papa kangen banget."

Langsung kupeluk tubuh mungil itu. Kuluapkan rindu yang selama ini membelenggu. Kutumpahkan segala hasrat yang entah berapa lama telah tertahan. Aku benar-benar seperti terbang keangkasa. Kugenggam erat jemari lentiknya. Meniti surga dunia.

Namun ada pemandangan tak biasa. Beberapa bercak merah di dadanya. Langsung kutatap wajahnya. Safira? Oh Tuhan, saking rindunya aku pada Dahlia sampai mata ini tertipu oleh khayalan sendiri. Tapi apa ini? Bercak merah di dada Safira?

"Kamu melakukannya dengan Yoga?" tanyaku terluka.

Safira tak berkata-kata.

"Katakan!" 

"Aku wanita normal, Mas. Kapan terakhir kamu menyentuhku? Jangan salahkan aku jika aku melakukannya dengan dia."

"Shitt!"

Kubuang kasar selimut yang menutup tubuh. Mengenakan kembali kaos dan celana yang tercecer di lantai. Kuraih jaket kulit dan ponsel dinakas. Kemudian pergi meninggalkan Safira.

Pernikahan seperti apa ini? Benar-benar tak bisa dimaafkan. Kupacu mobil tanpa tujuan. Harga diriku benar-benar telah Safira injak-injak. Tak bisa dimaafkan lagi.

Akhirnya mobil ini berhenti di depan pagar rumah Dahlia. Terlihat lampu kamar di lantai dua menyala. Tak ada aktifitas di sana. Pasti Dahlia masih larut dalam mimpi indahnya. 

Oh Tuhan, aku sangat merindukannya.

Benar adanya bahwa seseorang akan terasa begitu berharga setelah kehilangannya. Dan aku kini merasakannya. Kehilangan Dahlia seperti kehilangan separuh jiwa. Aku benar-benar seperti raga tanpa nyawa. Separuh jiwaku pergi bersamanya. 

"Dahlia." gumamku.

Sampai adzan subuh berkumandang aku hanya terpaku di sini. Mengamati kamar dengan temaram lampu tanpa seorangpun tahu. Sungguh aku ingin kembali ada di sana. Memadu cinta kembali dengannya.

Tak ingin menjadi perhatian orang-orang yang mulai keluar rumah, kutinggalkan tempat ini dengan berat hati. Enggan rasanya kembali ke rumah Safira. Tapi diri ini mau pergi kemana lagi. Sedang kini aku hidup bergantung pada perusahaan keluarga Safira. Benar-benar bodoh.

Kubuka pintu rumah dengan suasan begitu sunyi. Kuhempaskan tubuh ke sofa di depan televisi. Kemudian terpejam.

"Papa! Papa! Anun! Papa! Anun!" 

Kubuka mata, Agista dengan membawa boneka berada di samping kepalaku.

"Anak Papa sudah bangun rupanya."

Kucium gemas pipi bayi dua tahun ini. Kemudian kuangkat tubuh mungilnya ke atas perutku. Menggelitik dan menciumi pipi gembulnya. Kami tertawa bersama.

"Kopinya, Mas."

Safira datang dengan secangkir kopi. Diletakannya kopi itu di meja.

"Agista mandi dulu sana sama Mama!" pintaku setelah menurunkannya.

Hari ini aku ada janji ketemu rekan bisnis Ayah Mertua. Kubersiap kemudian sarapan bersama Safira dan Agista. Begitulah selalu yang terjadi. Meski Safira telah melakukan kesalahan fatal, dia tetap melayaniku seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Perjanjian kerja sama telah disepakati kedua belah pihak. Untuk mempererat hubungan baik antara perusahaan Ayah Safira dan Pak Santoso, maka beliau mengajakku makan siang di sebuah rumah makan bersama dua staffnya.

Aku jalan berdampingan bersama Pak Santoso di depan kedua anak buahnya. Meengobrol, lebih tepatnya mendengarkan beliau bercerita tentang bisnisnya. Setelah beliau menentukan meja untuk makan, beliau pamit ke toilet. Tinggal aku dengan dua staffnya.

Kusapukan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati desain yang elegan. Sehingga rumah makan ini terlihat berkelas. Jujur aku ingin kembali merintis usaha sendiri. Seperti dulu ketika bersama Dahlia. Lebih bebas dan fleksibel.

Kemudian mata ini terpaku pada sosok yang sedang mengaduk-aduk orange juice beberapa meja dari tempatku sekarang. 

Dahlia. 

Dia makan siang sendiri di resto ini. Dada ini kembali riuh. Ingin rasanya menemui pemilik hati. Reflek tubuh ini berdiri. Bertekad untuk menghampirinya. Selangkah kaki ini kemudian terhenti saat menangkap sosok laki-laki yang menduduki kursi di seberang meja Dahlia. 

Fahmi?

Dia Fahmi sahabatku sejak SMP. Gila kalau dia mendekati Dahlia. Taka akan pernah aku biarkan dia mendapatkan Dahlia. Sampai kapanpun Dahlia akan tetap jadi milikku. Tak rela aku kalai sampai dia bersama laki-laki lain. Siapapun itu.





RINDU JALAN PULANG (DINOVELKAN 0895355156677)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang