Dua

27 1 0
                                    

Waktu terus berjalan, keputusan orangtuaku dan keluarga Lily ditentukan. Aku dan Lily, akan segera pindah kota untuk sementara waktu demi impian.

"Impianku akan tercapai," lirihku sembari memeluk boneka panda dan menatap kedua orangtuaku yang melambai.

"Ayo!" teriak pengendara mini-bus yang akan mengantar enam insan ke kota yang dituju.

Aku tersentak dan balas melambai pada kedua orangtuaku. Senyuman mereka akan selalu terkenang dalam benakku, setidaknya sampai empat tahun mendatang.

"Apa kamu sedih meninggalkan mereka?" tanya Lily setelah bus mulai melaju, meninggalkan lapangan sekolah yang cukup luas. "Jangan sedih, kamu bisa melakukan panggilan video nanti."

Aku hanya membalasnya dengan senyum kecil dan mengambil earphone. "Aku ingin tidur," tukasku menyalakan musik dan menutup wajah dengan topi.

Memejamkan mata, menenangkan pikiran, melemaskan otot-otot tubuh, dan membayangkan kebahagiaan, sudah cukup membuatku larut dalam bunga tidur yang indah. Rasa peka tetap ada, aku tahu Lily juga tertidur dengan kepala yang membebani bahuku.

"Lily," kataku menggeram karena merasa pegal di bahu.

Hanya gerakan pelan yang menjawabku, "terserahlah," ucapku pada diri sendiri dan kembali memejamkan mata dengan malas.

***

"Veena! Lihat sini," teriak Lily yang sudah memasuki salah satu rumah sederhana dalam gedung, untuk dua orang dari penerima beasiswa.

Aku hanya menghela napas dan terduduk di sofa ruang depan. Aku masih terlalu malas, lelah, mengantuk, dan tentunya aku tidak stabil. "Na ... Ayo segera cuci muka dan pilih tempat untukmu, kita harus segera ke kampus untuk mengurus semua," ujar Lily menghampiriku dan melipat tangannya di depan dada.

"Jam?" tanyaku singkat pada gadis yang sudah menjadi sahabatku selama enam tahun terakhir.

"Tujuh malam," jawabnya tak kalah singkat.

"Kampus mana yang buka jam tujuh malam untuk mengurus data? Itu hal administrasi yang umumnya buka pada hari senin sampai jumat, jam delapan pagi sampai jam empat sore," tuturku menatapnya tajam.

"Aku tahu itu!" sahutnya tertawa keras dan ikut terduduk di sampingku. "Rumah ini lumayan dengan pendingin ruangan, kulkas, satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu ruang kumpul dengan televisi."

"Berapa lemari?"

Dua jari Lily terangkat ke udara, seolah menyimbolkan bahwa tersedia dua lemari sebagai bagian dari fasilitas yang ada. "Aku benar-benar beruntung memilikimu, kecerdasan, dan semua yang ada ...," katanya sembari memelukku dari samping.

"Badanmu bau!" tukasku cepat melepaskan pelukannya dan berlalu untuk segera mandi.

"Mandi yang cepat supaya kita cepat tidur," ucap Lily padaku yang hendak memasuki kamar mandi.

"Besok jam berapa harus kumpul?" tanyaku mengingat harus menyiapkan diri.

"Sembilan pagi," jawab Lily sembari merebahkan diri di ranjang. "Tenang! Sudah satu bulan terakhir ini aku bisa bangun jam delapan."

"Aku tidak mencemaskan kemalasanmu," gumamku acuh dan segera memasuki kamar mandi, menutup pintu dan mengabaikan teriakan Lily.

To Be Continue —

Fuxx For Your LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang