00. Selamat Pagi

245 50 4
                                    

"Selamat pagi!"

Orang-orang bilang, mengajar anak-anak kecil sangat mudah. Itu bukan anggapan yang buruk, tapi juga tidak bisa dibilang baik. Tapi ada lagi orang yang beranggapan bahwa mengajar anak-anak kecil itu berat—semakin rendah tingkat pendidikannya, semakin sulit tugas seorang guru. Benarkah seperti itu?

Sapaan pagi yang terdengar ceria seperti biasa, sahutan anak-anak yang setengah berteriak juga seperti biasa. Ibu Guru memasang wajah yang tersenyum manis dengan wajah yang berseri, harus seperti itu, setiap hari, setiap saat. Anak-anak dengan pipi gembil yang kemerahan menyahuti, ikut tersenyum dengan satu atau dua gigi yang patah.

"Biar semangat, kita tepuk semangat dulu ya!"

Suara yang lantang, senyuman yang lebar, wajah yang ceria, dan tubuh yang tak berhenti membuat gerakan-gerakan seirama dengan apa yang diucapkan. Bukankah itu melelahkan? Ya. Tapi apa yang dilakukan bersama anak-anak membuat semua penderitaan itu hilang. Tersenyum setulus mungkin bukan lagi mimpi. Mungkin jika di depan orang dewasa akan berbeda, tapi kepolosan anak-anak membawa kita ikut ke dalamnya.

"Semuanya hadir ya?" Ibu Guru membuka suaranya lagi, lantang dan ceria memenuhi ruang kelas. Anak-anak menyahutinya setengah berteriak, sudah biasa. Tema pelajaran hari ini adalah Keluargaku dan Ibu Guru sudah menyiapkan beberapa kegiatan, hanya tinggal bagaimana anak-anak akan menerimanya.

Lagu bertajuk "Sayang Semuanya" diputar memenuhi ruangan namun tiba-tiba seorang anak mengangkat tangannya dengan wajah penuh penasaran. "Ibu, kenapa harus lagunya sayang ibu? Yangyang kan enggak punya mama," pernyataan itu keluar dari mulut Qian Yangyang, dan itu benar adanya.

Pertanyaan seperti itu bukan sekali dua kali keluar dari mulut anak-anak, tapi sering. Mereka tidak tahu dan mereka mencari tahu. Seorang guru yang baik harus menjawab pertanyaan anak-anak, atau setidaknya berusaha mencari jawabannya. Ibu Guru berpikir sebentar, dia sudah tahu akan menjawab apa.

"Hyuck juga enggak punya mama. Enggak apa-apa, kan cuma nyanyi doang." Jawaban itu datang dari Seo Donghyuck dengan matanya yang membulat mendengar ucapan Yangyang. Hal itu juga sudah biasa, perbedaan pendapaat, agreement and disagreement, adalah hal yang biasa. Hanya saja, Ibu Guru harus hadir di tengah-tengah mereka sebagai seorang mediator.

Dua anak itu bernasib sama, piatu. Tidak ada dari mereka berdua yang memiliki ibu. Ibu Yangyang meninggal setelah melahirkan Yangyang, sementara masih tidak ada yang tahu di mana ibu Donghyuck berada sampai saat ini. Ibu Guru mematikan musik, kemudian duduk di bawah untuk membuat tingginya sedikit lebih rendah dari anak-anak.

"Ibu enggak punya kakak," katanya, "tapi waktu kita nyanyi, ya ... nyanyi aja. Liriknya juga boleh diubah. Gimana? Siapa yang mau ubah liriknya??"

"Boleh?"

"Emang boleh?"

Anak-anak berebut untuk bertanya apakah mereka boleh mengubah lirik lagu yang sudah ada. Ibu Guru mengangguk mengiakan. Lagipula, tidak ada yang melarang untuk mengubah lirik suatu lagu. Apalagi, untuk menyesuaikan pada semua kondisi anak-anak yang beragam.

Mereka adalah yang paling istimewa, setidaknya menurut Ibu Guru seperti itu. Anak-anaknya datang dari latar belakang yang berbeda-beda, beberapa dari mereka tidak memiliki orang tua yang lengkap, tidak tahu di mana orang tuanya berada, tapi mereka adalah anak-anak yang sama yang dia cintai.

"Ibu...." Yangyang menghampirinya dengan wajah yang tertunduk. "Kalo satu-satu aku sayang ibu-nya itu Ibu Guru, boleh enggak?" tanyanya dengan pelan. "Yangyang sayang Ibu Guru," tambahnya dengan mata yang berbinar tulus.

Anak-anak itu makhluk yang apa adanya, kata orang seperti itu—dan Ibu Guru menyakininya demikian. Ibu Guru mengangguk, mengiakan pertanyaan Yangyang. "Boleh," jawabnya. "Ibu juga sayang sama Yangyang, sama semuanya, Ibu sayang."

Ada hati yang harus dijaga. Untuk Ibu Guru, hati anak-anaknya yang suci dan polos lah yang wajib dijaga.

Kids Do Have ProblemsWhere stories live. Discover now