01. Ayo, Cerita! (1)

160 38 3
                                    

Anak-anak adalah makhluk yang berisik. Hampir tidak pernah mulut mereka diam. Selalu membicarakan hal-hal yang terlintas di kepala, blak-blakan, bahkan kadang kala tidak mengindahkan perasaan teman sendiri. Tapi dalam satu kelompok anak-anak, selalu ada anak yang diam, tidak berbicara, dan hanya tersenyum melihat percakapan teman-temannya.

Dengan adanya anak yang pendiam, ada anak yang akan mengajaknya bermain. Kata orang, orang introvert diadopsi oleh orang extrovert. Hari ini, Ibu Guru mengawasi anak-anak yang sedang bermain dari depan pintu. Melihat bagaimana anak-anak menaiki tangga dan berseluncur ke bawah bergantian, bercerita dengan suara lantang entah untuk apa, dan berteriak-teriak juga entah karena apa.

"Sho, kenapa enggak ikut main?" Ibu Guru menghampiri satu anak yang membawa bola di tangannya, berjongkok untuk menyamakan tinggi mereka.

Nakamoto Shotaro, anak yang lebih banyak menutup dibandingkan membuka mulutnya. Teman-temannya hampir tidak pernah mendengar suaranya. Shotaro jarang ikut bermain, Ibu Guru masih mencari tahu kenapa. Ada banyak sekali alasan yang membuat anak tetap diam. Tapi Shotaro masih ada di bawah pengawasan Ibu Guru.

"Enggak apa-apa." Shotaro menjawab pelan dengan senyumannya yang khas.

Ibu Guru tidak tahu banyak. Tapi semenjak Shotaro hanya tinggal dengan ayahnya, dia menjadi semakin diam. Masalah yang terjadi di rumah bukannya tidak mungkin menyebabkan perubahan emosi seorang anak. Apalagi mereka masih berada di masa-masa sensitif yang masih menerima semuanya begitu saja.

Sebuah senyuman terukir di wajah Ibu Guru dan dia berkata dengan lembut, "Sho mau cerita sama Ibu enggak kenapa enggak mau ikut main?" Tapi Shotaro menjawabnya dengan gelengan pelan. Ibu Guru juga tidak bisa memaksa anaknya itu untuk menceritakan semuanya. Tidak boleh ada paksaan, harus dengan ajakan pelan, dan kerelaan dari anak itu sendiri. "Ya ... udah deh. Tapi kalo Sho mau cerita, harus cerita ya. Janji?" Ibu Guru menjulurkan jari kelingkingnya.

Shotaro menyahuti dengan jari kelingkingnya yang mungil dan berkata pelan, "Janji." Dia tersenyum kecil. "Kata Papa, kalo enggak nepatin janji harus makan 100 jarum." Shotaro mengatakannya dengan wajah yang tersenyum kemudian dia menambahkan, "Serem."

Ibu Guru yakin seratus persen, Shotaro akan banyak bicara jika memang ada yang mengajaknya bicara. Tapi mungkin, mungkin saja, akhir-akhir tidak ada yang mengajaknya bicara. Langkah yang harus diambilnya tidak lain dan tidak bukan adalah, berbicara dengan orang tua Shotaro. Tidak ada pilihan lain.

"Sho kenapa di sini?" Pertanyaan itu muncul dari anak kecil lainnya, Jung Jaemin namanya. Ibu Guru menilai Jaemin sebagai anak yang perhatian dan perhatian tentang siapa saja. Jaemin adalah anak yang memiliki tingkat simpati dan empati yang tinggi. "Aku cariin tau dari tadi! Ayo main ke sana sama Hyuck juga!" Jaemin menarik tangan Shotaro.

Shotaro mau tidak mau harus mengikuti langkah Jaemin. Tapi sebelum berpaling, Shotaro melambai kecil ke Ibu Guru dengan senyuman di wajahnya. Ibu Guru berdiri dengan tekad yang bulat untuk berbicara dengan orang tua Shotaro. Hari ini, sepulang sekolah, wajib.

-o-

Nakamoto Yuuta tidak merasa dia melakukan kesalahan sama sekali. Tapi dia semakin tidak tahu kenapa semakin hari anaknya semakin menghindari dirinya. Tidak, Shotaro tidak menghindarinya. Shotaro hanya tidak bercerita padanya. Tapi gengsi Yuuta terlalu tinggi untuk bertanya kepada mantan istrinya bagaimana seharusnya dia berinteraksi dengan anaknya.

Ah, mungkin itu salahnya. Kalau Yuuta tidak memaksakan diri untuk memenangkan hak asuh, harusnya sekarang Shotaro tinggal bersama ibunya di Jepang dengan tenang. Anak itu akan kembali menjadi anak yang ceria. Lagi pula, pada dasarnya, Yuuta menyadari bahwa dia tidak banyak bicara dengan Shotaro sejak Shotaro lahir kedua. Mungkin, dia belum menjadi ayah yang baik.

Ketidakcocokan dalam pernikahan mungkin saja terjadi, oleh sebab itu mereka berpisah dan bertempur untuk mendapatkan hak asuh Shotaro. Yuuta menang. Celakanya, dia baru paham bahwa dia tidak lebih baik dari mantan istrinya dalam mengurus Shotaro. Entah sudah berapa kali dia menghela napas dalam perjalanan menjemput Shotaro ini. Ah! Mungkin, dibanding menghubungi mantan istrinya, Yuuta bisa bertanya dengan guru Shotaro. Mungkin, dia akan mendapatkan jawaban yang dia mau.

Yuuta tahu wali murid lain melihatnya dengan wajah yang aneh. Sejak dulu, bagaimana dirinya berpenampilan selalu menjadi daya tarik dalam artian yang negatif. Yuuta selalu tampil dengan celana jeans belel dan kaus sleeveless yang dilapisi kemeja flannel kebesaran, beberapa orang berpikir pakaian seperti itu tidak sopan. Orang-orang juga banyak membicarakan rambut panjangnya yang diwarnai dengan jumlah tindikan yang tidak sedikit. Tapi, tidak ada yang mengatakan bahwa wali murid harus berpenampilan tertentu hanya untuk menjemput anaknya. Jadi Yuuta memilih tidak peduli.

"Shotaro!" Yuuta memanggil nama anaknya. Kemudian Shotaro keluar dengan tas ultraman-nya. "Ibu Guru ada? Papa mau ngomong dulu sama Ibu Guru." Yuuta mendapatkan anggukan sebagai jawaban dan Shotaro menarik tangannya untuk menunjukkan di mana Ibu Guru berada.

"Ibu Guru!"

"Papa Shotaro!"

Mereka berdua terdiam. Yuuta tidak tahu kalau Ibu Guru juga punya sesuatu untuk disampaikan. Mungkin tentang perkembangan Shotaro di sekolah—atau mungkin hal lain. Kalau tentang Shotaro, maka mereka memikirkan hal yang sama.

"Soal Sho...." Yuuta memulainya. Dia sadar dia harus mencari tahu, dia harus berusaha untuk menjadi ayah yang baik atau dia tidak akan pernah bisa. "Sejak saya cerai sama istri, saya baru sadar kalo ternyata saya enggak banyak ngobrol sama Sho. Saya enggak tahu gimana caranya biar saya bisa ngobrol sama Sho. Saya nungguin Sho ngomong sama saya, tapi dia cuma diem aja. Kalo terus didiemin sama anak sendiri kan ... kan ... saya jadi sedih. Ibu tahu apa yang harus saya lakukan?"

Ibu Guru tersenyum, tepat seperti apa yang akan ditanyakannya, tapi Yuuta sudah menceritakannya duluan. "Saya baru mau tanya Bapak kenapa Sho akhir-akhir lebih sering diem. Ternyata itu penyebabnya. Melihat Sho lebih terbiasa sama mamanya, saya rasa mungkin Bapak harus terus menghubungi mantan istri Bapak. Hubungan Bapak dengan mantan istri mungkin sudah berakhir, tapi hubungan Sho dan mamanya harus tetap terjalin. Selain itu, di rumah, enggak ada salahnya Bapak yang sering nanyain Sho. Bapak bisa tanya di sekolah ngapain aja, Sho main apa aja, Sho mau makan apa, ada banyak sekali topik pembicaraan yang bisa dibicarakan dengan Sho."

Tidak ada yang Yuuta lakukan selain mendengar ucapan Ibu Guru sambil menggenggam tangan Shotaro. Betul, Shotaro mendengar percakapan mereka. Tapi tidak ada jaminan bahwa Shotaro mengerti—dia hanya tahu ayahnya berbicara dengan gurunya tentang dirinya (dan ibunya), sebatas itu saja. Yuuta mengangguk, dia memahaminya.

"Nanti saya coba. Saya bakalan ngobrol lebih banyak sama Sho. Makasih ya Bu jawabannya. Kalo saya bingung lagi, boleh saya hubungi Ibu?" Yuuta menutupnya dengan sebuah pertanyaan.

Ibu Guru menjawabnya dengan, "Boleh. Saya enggak masalah."

Perasaan Yuuta lebih ringan sekarang. Dia hanya perlu mencoba. "Saya pamit ya, Bu." Yuuta mengundurkan dirinya dari hadapan Ibu Guru. Dia berjalan bergandengan tangan dengan Shotaro. Namun kemudian Yuuta berhenti dan berjongkok. "Sho mau digendong enggak sampe mobil?"

"Tapi Sho udah gede...."

"Enggak apa-apa dong. Papa kan kuat." Yuuta tersenyum, lebar. Dia mengangkat Shotaro dalam gendongannya. Rasanya sudah lama sekali sejak dia melakukan hal ini dengan Shotaro. "Mulai hari ini, Papa bakalan jadi papa terbaik sedunia," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. "Mulai hari ini, Sho harus banyak cerita sama Papa. Oh iya, Sho kangen Mama enggak? Mau telepon Mama?"'

"Boleh?" Shotaro melihat wajah Yuuta dengan mata yang membulat. Yuuta tidak pernah menyinggung keberadaan ibunya semenjak mereka berpisah. Shotaro hanya tahu kalau orang tuanya harus tinggal terpisah dan dia harus tinggal bersama ayahnya, tanpa ibunya. Mendengar kata itu dari Yuuta membuatnya merasa senang.

"Boleh dong. Sho pasti kangen Mama kan. Nanti sampe rumah kita telepon Mama ya?"

"Iya!"

Sho, ayo kita lebih banyak cerita. Maaf, Papa selama ini selalu diem.

Kids Do Have ProblemsWhere stories live. Discover now