Danger Birth 1

57.6K 310 17
                                    

Suara shower dari kamar mandi membuat tidurku terganggu, saat aku membuka mata korden yang ada di samping ranjang sudah terbuka, sinar matahari masuk ke dalam kamar dan suasana sudah sangat terang.

"Rain, kau sudah bangun?"

Aku menoleh pada suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Aku berusaha bangun, tetapi sulit. Perut buncitku yang baru saja menginjak usia 8 bulan membuatku kesulitan melakukan aktivitas. Apalagi saat aku mulai berusaha, di dalam sana sang jabang bayi menendang.

"Shhhh.."

"Hey, kenapa?" Goergi mengusap perutku yang masih terbalut selimut tebal.

"Dia aktif sekali," aku sudah dibantu bersandar pada kepala ranjang.

"Seperti sudah tidak sabar untuk terlahir ke dunia."

Aku mengangguk. "Kita jadi pulang sekarang?"

Kami memang sedang menghabiskan waktu di sebuah villa yang berada di puncak. Goergi bilang, ia ingin mencari udara segar untukku agar tidak terlalu stress menjelang persalinan anak pertama kami.

"Aku sudah mandi, tinggal menunggu kau."

"Kenapa tidak membangunkan aku?"

"Kau tidur begitu pulas, aku pikir kau butuh istirahat lebih karena semalam tidak bisa tidur." Goergi mengusap perutku lagi, kebiasaan baru semenjak tahu aku hamil.

Aku menurunkan selimut tebal dan menggenggam jemari Goergi yang masih berada di atas perut besarku. Ku arahnya tangan itu ke bagian kiri atas perut, di mana itu sering di tendang oleh jabang bayi kami.

"Kau merasakannya?" tanyaku.

"Dia menendang, meski tidak terlalu kuat."

Aku tersenyum.

Goergi mulai mencondongkan tubuhnya ke depan, menangkup kedua pipiku dengan tangan dinginnya dan mengarahkan bibir sensualnya ke bibirku. Kami melakukan ciuman panas itu hampir 3 menit, jika saja aku tidak sedang mengandung, mungkin ciuman itu bisa lebih lama.

Mengingat usia kehamilanku yang hampir matang, aku sering merasakan lelah dan sesak pada dadaku. Aku tidak bisa berciuman lama, apalagi bercinta hingga beberapa ronde. Aku kasihan sekali melihat Goergi yang menahan dirinya selama berbulan-bulan.

Aku mengalungkan tanganku ke lehernya, menatap dalam mata dan berkata lirih. "Lakukan sekarang, baby."

Goergi merunduk, menatap perut besarku. Ragu.

"Dia ingin di sapa olehmu," ucapku meyakinkan.

Aku mengangguk sekali lagi. Tak butuh waktu lama, Goergi mulai memegang kedua kakiku dan merosotkan tubuhku hingga aku kembali telentang. Sekali gerakkan, ia melepas ikatan bathrope yang aku kenakan. Perut mulusku terlihat, begitu juga dengan payudara milikku yang sudah membengkak karena produksi asi.

Goergi meremas kedua gundukkan milikku lalu mencium setiap inci dari wajah, leher hingga turun ke puting. Ia mengecap leher dan dadaku hingga terdapat tanda kemerahan yang begitu banyak, lalu meraup putingku dan mulai menyedotnya.

"Ahh," desahanku lolos.

Semakin membuatnya bersemangat untuk menjelajahi setiap inci tubuh polosku. Pakaian kami sudah terlepas sepenuhnya dan decapan demi decapan terdengar di villa itu.

Goergi mulai mengarahkan miliknya pada milikku yang sudah basah. Ia memasukkan benda itu pelan-pelan hingga masuk sepenuhnya dan menggeseknya perlahan, tanpa berniat menyakiti bayi kami di dalam.

"Nikmat Baby," bisik Goergi sensual, ia mengecup daun telingaku.

"Baby, aku tidak kuat,"

Aku tidak kuat dengan posisi telentang, perutku seperti dikocok dan bergerak membuat bayiku di dalam sana bergerak gelisah.

Giving BirthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang