Adiktif

9 2 1
                                    

Tema: Adiktif
Majas: Simile
Keyword: Kayang Mayang, Tungkus lumus, Adu Untung, Abang Berang, Paceklik.
Jumlah kata: 500-2000 kata

Cerita harus berhubungan dengan gambar.

PseuCom
_____________

"Sip, kapan kau akan berhenti? Sampai kapan aku harus membawa belanjaan sebanyak ini?!" seorang laki-laki bertanya ketus dengan barang belanjaan yang dijinjingnya.

"Sipak!"

Yang dipanggil baru menoleh, padahal sudah dari tadi Sapik memanggilnya. "Apa?"

Tangannya terkepal marah hingga menampakkan otot leher. "Berani-beraninya kau masih bertanya 'apa', hah?!"

Kakinya sudah pegal harus mengekori Sipak berkeliling dengan tangan yang menjinjing belanjaan sebanyak ini. Sapik menaruh semua belanjaan di lantai dan pergi. Dia tak peduli dengan Sipak yang asyik berbelanja sendiri.

Sampai saatnya langkah Sipak berhenti ketika menyadari tak ada derap langkah yang mengekorinya lagi. Sipak berteriak histeris melihat belanjaannya tergeletak begitu saja di lantai. Dasar Sapik!

Sipak membawa banyak belanjaannya sambil berjalan dengan emosi yang tersungut-sungut amarah seperti tungkus lumus.

Dia harus memberi pelajaran ke Sapik! Berani-beraninya meninggalkan Sipak saat dirinya sibuk memilih pakaian.

"SAPIKK!" teriak Sipak dengan lantang seperti Tarzan saat tiba di rumah.

Sebuah jeweran keras menyambutnya tepat di telinga Sipak. "Suruh siapa menghambur-hamburkan uang Ayah, hmm?"

Sipak memegangi telinganya yang memerah. "A-aduh, lepasin dulu, Yah. Sakit ...."

Sial! Pasti si abang berang itu sudah mengadukannya ke ayah. Ingin sekali Sipak membalaskan dendamnya dengan jurus kayang mayang yang mematikan itu. Biar saja dikata hiperbolis, ini semua 'kan ulahnya Sapik!

Lengannya ditarik kasar ke kamar dan pintunya dikunci dari luar oleh ayah. Sungguh tega! "Setiap hari kamu berbelanja, tapi belanjaanmu saja hanya dipakai sekali,  tidak ada manfaatnya! Sebagai hukuman, Ayah kurung kamu di kamar selama seminggu!"

Kenapa jadi seperti ini?

*****

Hari ini seperti biasanya, ia akan berbelanja. Mumpung ayahnya sedang bekerja dan Sapik yang sedang pergi, Sipak berniat kabur dari kamarnya lewat jendela.

Deretan baju yang menggiurkan membuat Sipak berniat untuk membeli. Di kasir, Sipak menyerahkan kartu kredit. Nahas, kartunya diblokir.

"Oh, ya, udah kalau gitu, Mbak. Saya belinya nunggu uang tunai dulu, ya," Sipak berujar sambil tersenyum paksa.

Sial, kenapa dirinya harus mengalami keadaan paceklik ini, seperti orang miskin saja!

Kepalanya tertunduk, Sipak berjalan gontai tanpa arah, membawanya ke sebuah tempat yang indah dan menenangkan ini, tempat pemberhentian bus.

Awan merah dengan bulan sabit dan gemerlap bintang melengkapi indahnya langit yang mulai petang. Deburan ombak dan angin sepoi membuat Sipak menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata.

Menenangkan ....

Itu yang Sipak rasakan, sebuah ketenangan ketika dirinya dilanda gelisah saat ini. Rasa gelisah itu hadir karena dia belum menuntaskan kepuasan berbelanjanya hari ini. Rasa ini menganggu, benar-benar mengganggu.

Jika dipikir-pikir, rasa ini ada mulai saat itu. Saat di mana dirinya tidak memiliki kepuasan dan terus adu untung dengan saingannya lewat bersaing untuk mempercantik diri.

Ternyata, kebiasaan itu malah membuatnya tersiksa seperti ini. Sipak ingin menangis sejadi-jadinya dan berteriak lantang, "Lelah, Sipak lelah!"

Sipak membuka mata dan melihat bintang jatuh. Manik cokelatnya membola, kesempatan yang tepat! Konon katanya, bintang itu akan mengabulkan permintaan siapapun. Sipak ingin mengutarakannya sekarang!

"Tolong hapus rasa gelisah ini!" ujarnya dengan air mata yang menitik.

Ipen WikenOù les histoires vivent. Découvrez maintenant