3. Do You Remember Me?

25 3 2
                                    

Plaakk!

Sebuah tamparan dari lengan besar itu berhasil membuat kepala anak laki-laki berusia enam belas tahun itu terhuyung ke kanan. Ia merasakan perih menjalar di sekitar pipinya—hasil dari tamparan yang dicetak tangan ayahnya sendiri.

"Bersikap baiklah pada Resi!" teriaknya lantang membuat saliva anak itu kontan terteguk pahit dikerongkongan.

"Tapi pa ..."

"Cukup!" potong ayahnya cepat sembari menunjuk tajam wajah anak itu. "Saya gak mau denger lagi apapun alasan kamu. Tugas kamu hanya mengawasi anak itu!"

Setelah mengatakan hal yang tidak pernah Juan inginkan, pria setengah baya yang merangkap jadi ayahnya itu melenggang pergi meninggalkan Juan yang masih berdiri kaku di tempatnya. Ia benci hidup seperti ini—terus menjadi alat pelindung atas segala perbuatan ayahnya di masa lalu.

**

Resi gagal mencari tahu rumah Juan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyerah dan pulang saja. Tubuhnya butuh istirahat, dan sudah 15 menit Resi menunggu angkutan umum yang menuju ke arah rumahnya. Namun nihil, tak ada satupun yang melintas.

Suasana lingkungan sekolahpun sudah sangat sepi. Hanya terlihat beberapa anak organisasi yang masih berkeliaran di sana. Tadi, persis setelah bel pulang berbunyi nyaring, kedua sahabatnya—Anggi dan Gina pamit pulang lebih dulu, jadi tinggal lah Resi sendirian.

"Gue kelamaan bujuk Pak Gana apa gimana, sih? Kok tumben banget jam segini udah gak ada angkot?" gerutunya kesal, "apa tukang angkot udah jadi sultan semua, ya? Jadi kagak ada yang butuhin duit receh gue!" imbuhnya hiperbola.

"Hmm ... pesen ojol aja deh," gumamnya tak kehilangan akal.

Namun sial seribu sial, baterai ponselnya habis. Resi lupa mengisinya sewaktu istirahat siang tadi dan malah sibuk merenungi nasibnya yang tak kunjung mendapatkan balasan pesan dari Juan.

"Aish! Pake mati segala lagi," desis Resi kesal menatap ponselnya yang mati. "Terus gue gimana dong? Mana udah sore lagi," keluhnya sembari berkacak pinggang satu.

Resi kembali berpikir cara terbaik untuk pulang, dan seketika muncul lampu neon di atas kepalanya kayak di film-film sebagai pertanda kalau gadis itu mendapatkan ide cemerlang.

"Tuhan ngasih gue dua kaki yang lengkap. Jadi ... ayo kita manfaatkan," semangatnya kembali membawa, "kaki ... kerjasama, ya. Jangan manja, gue mau pulang jalan kaki nih," ujar Resi berbicara pada kakinya sendiri.

Tak lama setelah itu, Resi pun melangkahkan kakinya ke arah jalan raya. Sebenarnya jarak rumah dan sekolahnya memang tidak terlalu jauh, ia hanya memerlukan waktu sampai lima belas menit. Tapi ya gitu, Resi kadang suka males jalan kaki. Katanya nanti takut betisnya berubah jadi talas bogor!

Setelah lima belas menit berjalan, akhirnya Resi sudah sampai di depan rumahnya. Namun, saat hendak masuk, ia melihat ada sebuah motor terparkir di sana. Motor yang cukup familiar—

"Juan?" pekik Resi tidak percaya begitu mengetahui si empunya motor itu, kemudian ia menyengir lebar dan segera berlari masuk ke dalam rumahnya.

"JUAAAAAANNNN!" teriaknya membuat orang rumah tersentak kaget sembari mengalihkan pandangan kepada Resi.

"Astaga Resi, kalo masuk rumah tuh ucapin salam dong," peringat Bibinya.

Iya, setelah kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan mobil setahun lalu. Tinggal lah Resi bersama paman dan bibinya yang kebetulan belum memiliki anak. Mereka sangat baik dan sudah menganggap Resi sebagai anak tentunya.

"Hehe iya, Bitan maafin deh, ya," cengirnya tanpa dosa. Resi memang suka memanggil nama Bibinya dengan sebutan 'Bitan' alias Bibi Tante.

Bibi menggusah napas jengah. Anak itu memang sudah kebiasaan bar-bar kalau masuk rumah. "Yasudah kalo gitu Juan. Ini bocahnya udah pulang, bibi tinggal bentar ya," katanya bangkit berdiri dari duduk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 24, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LOVE STORYWhere stories live. Discover now