Part 7

6K 378 1
                                    

Sekitar lima menit, mereka akhirnya sampai. Namun, sebelumnya orang tadi meminta Ayna menunggu, karena sang resepsionis ingin mengecek apakah sang bos sibuk atau tidak.

Ayna hanya manut.

Wanita melangkah masuk.

"Permisi, Pak."

Semua orang mendongak menatap wanita itu. Alis Arkan terangkat, ia melirik Askaf—sekretarisnya.

"Ada apa?" tanya Arkan to the point.

"Di luar ada keponakan Anda, katanya ingin bertemu," jawab wanita tersebut.

Tampak Askaf melengos sambil memegangi perutnya, hampir saja tawa lelaki itu pecah di depan Arkan juga kedua klien mereka.

Paham dengan siapa yang dimaksud sang resepsionis, Arkan bangkit menyejajarkan tubuhnya dengan sang sekretaris.

Ia lalu menyikut lengan Askaf, membuat sang empu langsung menoleh. "Ada apa, Bos?"

"Kamu keluar, temui orang itu dan bawa dia ke ruanganmu. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini," jelas Arkan dengan suara pelan. Askaf mengangguk dan langsung meluncur keluar menemui orang yang diklaim sebagai keponakan sang bos.

Sebenarnya, di antara semua karyawan kantor hanya Askaf-lah yang tahu kalau bosnya sudah menikah. Ya, karena Arkan sendiri yang mengundangnya.

Namun, ia dimintai untuk tidak memberi tahu hingga Arkan menemukan waktu yang cocok dan benar-benar sangat pas guna membongkar semuanya.

"Di mana orang itu?" tanya Askaf.

Wanita tadi menunjuk Ayna yang sedang berdiri sambil melihat-lihat isi kantor suaminya. Lumayan, tidak sedikit wanita yang bekerja di sana menggunakan hijab. Menarik, bukan?

"Permisi."

"Iya?"

Ayna menoleh membuat Askaf tersentak, 'Eh, buset. Ternyata istri Pak Arkan. Sialan banget Nisa, ngatain istri sebagai keponakan Bos.'

Askaf mendelik tajam pada Nisa—si resepsionis. Wanita itu mengangkat bahu, lalu pergi begitu saja.

'Huh, dasar wanita. Untung cinta, hehe,' batin Askaf.

• • •

Sudah tiga puluh menit Ayna duduk menunggu suaminya di ruang Askaf, tetapi tanda lelaki itu tidak tampak di mana-mana. Apa ia sudah ditelan bumi? Astaga, yang benar saja.

"Apa rapatnya selama ini? Sudah jam 14.45, lho, Pak Askaf." Ayna memgeluh, sedang pria yang ditanya itu hanya menyengir sambil menggaruk kepalanya, bingung.

"Apa, Anda mau pulang saja?" Askaf bertanya, berusaha menguasai suasana agar tidak terkesan kaku

"Tidak, kalau datang lalu pulang untuk apa? Buang-buang waktu saja, lagi pula ini kali pertama aku ke sini. Apa tidak ada tour untukku?"

Nada dan raut wajah Ayna kali ini terkesan sangat serius, tidak seperti ekspresi biasa yang ia tunjukkan di depan Arkan.

"Tapi, Bu–"

"Aku tidak terima penolakan!"

Sangat tegas, bahkan Askaf sedikit tersentak hingga beberapa detik berikutnya ia kembali bersikap normal. Kemudian mengangguk pelan. Namun, sebelum itu ia mengirim pesan pada Nisa agar menemani mereka.

Tidak mungkin hanya berdua. Sebab, yang ketiga adalah setan. Lagi pun, mereka bukan mahram. Jadi ada baiknya Nisa ikut, agar nanti tidak timbul kesalahpahaman.

Ceklek!

Nisa tersenyum melihat Ayna keluar, lalu Askaf mengikuti dari belakang. Gadis berkerudung hijau toska itu membalas senyuman sang resepsionis. Bukankah senyum kepada sesama saudara muslim adalah sedekah?

"Mari, Bu," ajak Nisa.

"Santai saja, Mbak. Panggil Ayna saja," balas Ayna.

Askaf hanya bisa menyimak keduanya saling bicara.

"Ah, tidak. Rasanya tidak sopan, Anda itu keponakan Pak Arkan, yang berarti kami harus berlaku hormat. Meskipun Anda lebih muda dari kami," jelas Nisa sambil menyikut lengan Askaf menggunakan pena yang ia pegang.

Pria itu hanya geleng-geleng. Keponakan konon, astaga.

• • •

Drtt!

Ponsel Askaf berbunyi, ia bangkit dan meminta izin untuk mengangkat panggilan dari Arkan. Kedua perempuan berkerudung itu hanya mengangguk, lalu kembali menyeruput jus jeruknya masing-masing.

[Iya, Pak?]

[Kamu sama istriku di mana, Kaf? Aku udah di ruangan kamu, tapi malah gak ada orang. Awas ya kamu bawa istriku kabur, kugoreng dirimu.]

Mata Askaf terbelalak, benar-benar gila Arkan. Mana berani bawa kabur anak orang dirinya, apalagi itu istri dari sang bos. Bisa-bisa hancur masa lalu dan masa depannya.

[Astagfirullah, Pak. Mana berani saya.]

[Ya udah, sekarang kamu di mana?]

[Di kantin.]

Tutt!

Panggilan diputuskan sepihak, Askaf hanya bisa menghela napas. Lalu kembali bergabung dengan kedua perempuan itu, lebih tepatnya hanya menamani. Namun, keberadaannya tidak dianggap sama sekali.

Sungguh menyedihkan jadi jomlo, pikir Askaf.

_ Batas Cuci _

Bos ama anak buah 11-12
😂😂😂

Entah karena apa, tapi ya gitulah.

Makasih yang udah mampir, jangan lupa Voment 💙

💙 Calangeo 💙

Menikahi Gadis Polos [Completed]Where stories live. Discover now