5. Hari Pembagian Rapor

49 14 17
                                    

Suatu hari, enam tahun yang lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suatu hari, enam tahun yang lalu.

Ia mengasihi seni lukis. Sangat. Waktu hidungnya masih kecup bayu tanpa bonus sahaya dan tuan muda yang bisa eja kepala, Suan kuasa menjelmakan apapun dalam datar si kanvas. Malar-malar tuan muda jua terselip di saf adikarya milik ia. Serta di kaki kanvas, ada tiga pasang asma: Brian Dennis Park.

Dahulu, seragam Suan masih dapat label enam (sekolah dasar). Di umur sekecil itu, ia menggemari tetangga kelasnya, Dennis, yang tersohor akan kedunguannya. Akan tetapi, Suan tiada berpandang serupa. Otak rodiumnya berpaham, tidak naik kelas bukan sebuah kebodohan, kok.

Enam tahun lalu, hari ke sepuluh.

Hari pembagian rapor. Suan di ruang seni sedang melukis dengan akrilik, tanpa kanvas. Kalender lawas jadi media dan lantai jadi korban. Akrilik dan tetek bengeknya mempunyai bau baju baru. Suan menyukainya hingga tak menyadari presensi sorang.

"Lantainya kotor. Apa tidak ada bawahan?"

Suan lima detik memaku. Dennis (Suan akrab sapa sejenis itu) memberikan rapornya tuk bawahan, alih-alih setumpuk karton yang entah mengapa ia bawa.

"Vinyet apa yang kau lukis? Ibu memotong buah?"

Seperti pungguk mencampakkan bulan, Suan pun serupa. Ia pasang bendungan di jeda antaranya dan Dennis, tanpa memusingkan potret diri yang penuh akrilik di jejari, kaki, pun hidung.

"Kau tahu apa artinya?"

Suan bergeming. "Aku tidak. Kau tahu?" Akhirnya, bisu yang bercokol hebat dalam diriku minggat juga.

"Aku tidak akan mengatakannya."

"Kalau begitu, jangan pernah kau suarakan."

Setelah panjangnya sumbang, ruang yang bau baju baru ini ramai-ramai ketibaan pasukan anak dasar. Mereka riuh dan bersorak menyebalkan: Suan, mengapa kau berteman dengan bocah dungu?

Tidak. Tidak. Anak mungil penuh warna-warni itu tidak malu bersanding dengan Dennis, si dungu. Malah, Suan genggam jemarinya dan peluk hasta karya yang belum kering, hingga putih seragamnya jadi korban kedua.

"Mengapa kau tak memencilkan aku?"

Karena aku menyukaimu, dungu. "Aku mau menarik kalimatku. Katakan, apa arti lukisan ini."

"Ia sudah menyatu denganmu." Dennis merenggut vinyet di kepal tangan Suan. "Seperti lukisan ini, artinya pun, sudah menyatu denganmu. Dariku."

Shoucan Loo1009 dan kembang biak teknologi membuat aku tahu, bila mom cut fruit = i love you

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Shoucan Loo
1009 dan kembang biak teknologi membuat aku tahu, bila mom cut fruit = i love you. Sialan.

he who never criesWhere stories live. Discover now