Alarm dengan suara ayam jago berbunyi lantang, mengagetkanku. Kutendang selimut ke berbagai arah kemudian memijat kepala yang terasa berat pagi-pagi. Mataku membelalak, menyesuaikan pemandangan di sekelilingku.
Ah, benar saja. Kemarin aku masih tidur di kamar indekos, sekarang aku bangun di kota terpadat di dunia. Tentu saja rasanya berbeda. Mungkin ini yang dinamakan jetlag.
Bunyi kokok ayam kumatikan. Pukul sembilan pagi. Aku kembali merebahkan kepala. Hari ini jadwalku tidak padat—seluruh jadwalku di sini memang tidak padat sama sekali. Menurut itinerary yang telah kubuat, hari ini aku harus pergi ke Ueno Park dan menghabiskan siang di Ameyoko Market, semacam pasar tradisional paling terkenal di Tokyo.
Aku langsung berlari ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
Menyelesaikan panggilan alam, mencuci wajah yang penuh minyak semalaman, dan berendam dengan air hangat sambil keramas. Perlu waktu lama untukku mengeringkan rambut. Rambutku memang tidak begitu banyak, tetapi bentuknya yang keriting bergelombang membuatnya tampak mengembang hingga kadang susah diatur.
Setelah mandi dan keramas, lanjut ke perawatan wajah dan makeup. Mungkin salah satu alasan mengapa aku masih saja tinggal di indekos bukannya di apartemen adalah karena permasalahan skincare yang tiada habisnya. Selalu saja menghabiskan uang bulananku. Terlebih jika ada racun baru di forum pejuang skincare, pasti aku langsung menginvestasikan aset lancarku untuk membeli barang-barang baru tersebut.
Ditto yang mengajariku memakai skincare secara lengkap. Dia yang bilang bahwa hormon perempuan itu jauh lebih banyak dan kompleks, maka perawatan yang dipakai pasti jauh lebih ribet demi kulit halus dan kinclong.
"Yang namanya perawatan kulit itu bukan buat sebulan atau dua bulan, tapi buat seumur hidup. Lu enggak mau kan cepet keriput atau keliatan lebih tua daripada umur lu?" kata Ditto saat membuka paket dari ekspedisi yang hampir setiap hari datang ke ruangannya.
"Kalau gitu, gue harus pakai apa aja buat pemula?" Saat itu aku masih anak baru, pertama kali kerja dan tak begitu memperhatikan penampilan walau sudah belajar sedikit mengenai makeup dan teman-temannya.
"Sunblock, toner, serum, pelembab, dan krim mata. Itu yang paling esensial. Lainnya ntar lu coba-coba sendiri. Tapi jangan keseringan, ya, ntar malah breakout," jelasnya panjang lebar padaku. Setelah kejadian itu, sekarang aku jauh lebih jago dari Ditto.
Bahkan banyak masker atau pelembab yang tidak cocok di wajahku, tetapi cocok di Ditto sehingga aku memberikan padanya cuma-cuma.
Makeup mata sudah selesai. Tinggal semprotkan face mist dan aku siap untuk menyambut Tokyo pagi ini.
"Apakah kamu ingin kamarnya dibersihkan?" tanya perempuan berbaju kimono di resepsionis padaku. Kali ini warna kimononya abu-abu dan rambutnya digelung tinggi dengan tusuk rambut besi yang cantik. Dia benar-benar menggambarkan wanita Jepang yang sederhana dan menawan.
Aku membayangkan kamarku yang super berantakan sebelum kutinggal pergi. Sesungguhnya agak tidak enak jika memikirkan petugas hotel yang geleng-geleng melihat keadaan kamarku. "Tentu. Terima kasih," jawabku.
Kuletakkan kunci kamar dan segera keluar dari hotel.
Tokyo musim semi terasa dingin walau matahari sudah bersinar dengan terang. Udara sejuk menerpa wajah. Kukalungkan kamera di leher dan aku berjalan santai menyusuri jalanan Asakusa yang belum terlalu ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...