Sungguh terasa aneh, ketika kami berhadapan untuk mengutarakan sesuatu yang sebenarnya sudah saling mengetahui. Minggu lalu aku begitu menggebu-gebu. Tadi pagi saat di apartemen Ditto aku begitu berani.
Sekarang aku merasa tak bisa mengatakan apa-apa.
Beberapa saat yang lalu memutuskan untuk menelepon Raka dan memintanya bertemu malam ini juga. Nadaku memaksa, dan sebelum aku mengatakan apa pun, Raka sudah menyetujuinya tanpa memberi alasan apa pun.
Dia juga pasti tahu bahwa masalah ini akan terkuak suatu saat.
Pesanan kami diantarkan. Aku tak memesan makanan, hanya latte dingin karena seluruh tubuhku serasa terbakar. Raka juga sepertinya tak berselera untuk makan karena hanya memesan teh kamomil hangat sambil sesekali menyapukan pandangan ke sekeliling. Dia berkedip terlalu cepat dan jakunnya bergerak-gerak resah.
Aku harus memulainya. Sekarang, atau tidak sama sekali.
"Gimana kabarmu, Raka?" kataku membuka percakapan. Raka sedikit tersentak ketika mendengar suaraku dan memandangiku dengan gamang. Wajahnya berubah total dibanding saat pertama kali bertemu denganku di Tokyo. Dulu dia terlihat dingin sekaligus teduh. Sekarang dia seperti burung liar yang kesakitan.
"Aku baik. Kamu?"
Tanganku terasa kebas dan aku meminum latte sambil berpikir keras. "Aku pengen basa basi sama kamu, Rak. Tapi kayaknya enggak bisa. Dan kamu juga kayaknya udah tahu kenapa tiba-tiba aku minta ketemuan kayak gini," ujarku setenang mungkin. Biasanya aku sudah menangis tersedu-sedu saat menghadapi situasi seperti ini, tetapi malam ini aku menahannya dengan cukup baik.
Raka tak menanggapi apa pun, maka aku melanjutkan. "Aku tahu kamu sudah tunangan, Raka."
Mimik di wajah pria di hadapanku ini langsung berubah. Dia seperti tertangkap basah, tetapi sudah tahu betul bahwa itu akan terjadi. Antara syok, siap dan tidak siap. Dia langsung menatapku sejurus setelah aku mengatakan kalimat barusan. "Kamu tahu dari mana?"
Aku tersenyum getir mendengarnya, "Enggak masalah aku tahu dari mana. Kenyataannya yang lebih penting."
Raka menunduk dan memainkan jemarinya dengan gelisah. Tehnya tak lagi mengeluarkan uap, mulai mendingin. Dia kembali mendongak dan kulihat matanya berkaca-kaca. "Aku kedengaran kayak brengsek, sekarang. Pengecut dan brengsek," ujarnya sambil tertawa geli lalu melanjutkan, "Aku enggak tahu apa ini hal yang tepat, tapi aku benar-benar minta maaf, Rose. Meski aku tahu kamu enggak akan maafin aku dan di matamu aku adalah cowok brengsek, aku minta maaf."
Kurasakan bibirku bergetar dan aku mulai sangsi apakah pertahanan dinding air mata ini bisa bertahan lama. "Kenapa ...," tunggu, aku tidak bisa mengatakan ini dengan suara jernih karena tiba-tiba tenggorokanku tersekat. "Kenapa kamu bilang suka sama aku? Maksudku ... aku tahu ... maksudku ...."
"Aku tahu. Kalau inget bahwa aku udah tunangan dan masih bisa bilang suka sama kamu, itu bener-bener enggak masuk akal. Tapi apa yang aku bilang ke kamu itu nyata, Roselyne. Aku enggak mengada-ada, aku juga enggak membohongi siapa pun—"
"Tapi kamu bohongin aku, Raka!" pekikku tertahan. Aku ingin sekali berteriak-teriak, tetapi kafe ini penuh pengunjung dan aku tidak ingin memancing keributan yang tidak penting.
"Aku enggak pernah bohongin kamu," sergahnya. "Aku emang enggak pernah cerita soal tunangan itu ... astaga, aku bahkan benci luar biasa kalau inget aku sudah tunangan, Rose!"
Kepalaku terasa berputar dan aku tak henti-hentinya memijit sambil terus menahan air mata. "Kamu jahat banget! Kamu sudah punya seseorang di sampingmu, tapi kamu masih mikir buat ke lain hati. Kamu sadar, enggak, sih, kalau sudah jadiin aku buat pelarian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tokyo Twilight
Romance[CERITA SUDAH TAMAT] Patah hati karena dikhianati oleh kekasihnya yang baru saja menikah dengan sahabat baiknya, Roselyne memutuskan untuk berlibur ke Tokyo dan berharap dapat menata hati. Sambil bercerita mengenai keindahan tentang Tokyo dengan sa...