Falling Flower

150 23 18
                                    

Warning!

Mungkin membosankan, bertele-tele, dan sensitif theme.

Baca dulu, Winter flower, Blossom Flower, part ke tiga adalah chapter  ini,  Falling Flower.

---------------





Hujan deras, menulikan semua bunyi-bunyian, hanya menyisakan serbuan tetes air yang berisik menabrak atap-atap seng berkarat. Titik-titik air menggores kulit yang hanya terlindung selembar kemeja denim berwarna abu. Semua itu Sama sekali tidak mengusik satu orang bodoh tetap berdiri di atap sebuah gedung flat super sederhana di pinggiran kota Seoul. Dia menikmati semuanya, guyuran hujan pun gemuruh guruh di balik langit gelap menjadi selimut bagi sosok bersurai carramel itu.

Ia menerima ada rasa perih ringan yang menampar kulit wajahnya, menikmati setiap suara yang memasuki gendang telinganya.

"Woojin aku merindukanmu," dia hanya bergumam, tidak peduli jika udara akan bosan dengan keluhannya yang satu ini.

Park Jihoon berusaha hidup di statusnya yang setengah gila, ia mungkin sudah tidak menciptakan halusinasi tentang Woojin, sosok Dafodile nya.

Tapi diam-diam, tanpa menceritakan pada Seongwoo, terapis mentalnya, ataupun pada Daniel kakak sepupunya yang sejuta persen peduli padanya, Jihoon masih membutuhkan Woojin.

Ia membutuhkan Woojinnya, saat semua terasa berat untuk hanya sekedar berdiri tegak, pun sesak, napas yang tercekat di rongga dada. Jihoon yang harus menahan sakit melihat tautan tangan anak-anak dan ayah ibu mereka, Jihoon yang melewati dentang lonceng gereja di tanggal dua puluh lima desember seorang diri. Jihoon yang mampu memeluk diri sendiri ketika hembus angin rindu menyerangnya,

Jihoon yang tetap berusaha terlihat baik-baik saja saat terasa tidak ada yang bisa dipercaya, ketika dunia seakan tak pernah berada di pihaknya.

Tak mau mendengarnya, tak mau melihatnya.

Hanya ngin bersama Woojin, Woojin saja.

Tapi lagi-lagi sisi kesadaran tubuhnya tidak membiarkan Park Jihoon dicap gila. Berawal dari trauma kehilangan, ganguan kecemasan berlebih -anxiety-, depressi terlalu lama berakhir membuatnya nyaman bersama dirinya sendiri. Bicara, terdiam, tertawa, menangis.

Tapi,

Tidak! Jihoon tidak selemah itu, kata Woojin.

Jihoon tidak sepenakut itu, kata Woojin.

Jihoon tidak sebodoh itu, kata Woojin

Jihoon tidak sendiri, lagi-lagi kata Woojin.

Namun bukankah pada akhirnya Woojin juga yang mengkhianatinya, dia pergi.

Kepribadian lain dari diri Jihoon sendiri yang membautnya mampu berdiri, meninggalkannya ?

Baiklah, pola pikir Jihoon memang berantakan.

Seberantakan jiwanya yang terlalu sering dikoyak duka. Mentalnya cidera parah, berdarah-darah yang tidak nampak, dikemas di hatinya yang kusam oleh luka.

Ayah, ibu, kakak dan satu tahun yang lalu Woojin-nya. Semua pergi yang tidak bisa kembali.

Tubuh Jihoon sudah menggigil, dengan bibir membiru, tapi tidak ada niat untuk beralih dari atap gedung yang tidak lebih tinggi dari empat lantai ini.

"Woojinah, Woojinie, Woojin ku.." Jihoon menutup matanya dengan kepala menengadah, membiarkan air matanya bercampur menjadi satu dengan ribuan kubik air yang menetes super deras dari langit. Ia hanya punya sosok imajener itu untuk ia panggil dalam isakan yang lama-lama membuatnya muak.

۰۪۫W۪۫۰۰۪۫i۪۫۰۰۪۫n۪۫۰۰۪۫k۪۫۰۰۪۫y۪۫۰ ۰۪۫B۪۫۰۰۪۫i۪۫۰۰۪۫r۪۫۰۰۪۫d۪۫۰ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang