Perdu

189 15 11
                                    

Sore pertama yang menyambut mereka sebagai keluarga kecil terlihat dua kali lebih terang. Warna keemasan menyepuh permukaan dedaun yang luruh dari batang pohon-pohon besar yang berjajar di sepanjang jalan setapak menuju apartemen mereka.

Park Woojin mendapatkan jam pulang lebih awal, tersenyum ringan dalam langkah seringan bulu menuju kediaman. Berdiri sedikit lebih lama di muka pintu untuk meraup udara banyak-banyak sebelum mengetuk, paham bahwa yang akan menyambutnya di hadapan kerap membuat napasnya berhenti mengombak.

"Aku pulaaaang, Jihoonie!"

Ia sudah hapal detik yang merambat selagi menunggu kenop pintu berputar dan Jihoon yang kemudian berdiri di depannya. Malam masih jauh, tapi ia lebih dulu gugup mendapati cahaya melintas sedetik di mata carramel Jihoon sewaktu pandangan mereka bertemu, meski Jihoon menyambutnya dengan dengusan tipis dan gumam pendek, ia akan menggeser sedikit tubuh dan membiarkan Woojin masuk.

Ada saat di mana Woojin merasa ini nyata sekaligus ilusi di satu waktu. Namun, setiap kali Jihoon menyambutnya, mengisi ruang kosong di jari-jemarinya dan mereka berjalan beriringan masuk, Woojin tahu-mereka tahu. Ini realita.

(Jadi, Woojin pikir itu mimpi, ketika di satu sore ia berdiri di ambang pintu sedikit lebih lama dari biasanya, menggigil dengan ponsel yang menempel di telinga. Namun tanpa jawaban dari seberang)

.

.

.

Park Jihoon selalu terbangun lebih awal, menyadari udara pagi yang terhirup jauh lebih segar dari yang pernah ia ingat, meski keadaan kamar mereka yang gelap dan tubuhnya yang terasa berat.

Ia akan merangkak sepelan yang bisa dilakukan, menyingkap tangan Woojin dari tubuhnya dan berjalan menuju dapur. Kini sang pemilik netra carramel hapal denah apartemen ini-apartemen mereka; meja dapur, lemari es, meja makan, hingga sepasang jendela yang ia temukan berdampingan sebelum mencapai balkon, penghubung antara pohon momiji yang menjulang sebagai kanopi tanaman merambat yang ia gantung di tepian atas. Sesekali mengembun begitu Jihoon menggeser gorden abu-abu penyekat.

Kemudian ia akan menemukan dirinya tertegun menikmati hangat mentari yang perlahan menyeruak dari balik celah-celah pohon, terasa ajaib begitu Jihoon memejam sejenak untuk menyerap hangat yang mengingatkannya kepada senyum berhias gigi gingsul sehangat ini yang terangkum dalam garis bibir seseorang.

Lalu Jihoon akan tersenyum diam-diam dan jatuh berkali-kali, lebih dalam lagi.

"Airnya sudah matang, Jihoonie."

Selalu, tubuhnya akan lebih dulu bergerak dibanding otaknya berpikir setiap kali suara bernada serak dan malas itu menyebutkan namanya, kelewat cepat sampai ia merasa lehernya bisa patah jika saja-

"Tidurmu nyenyak?"

-sepasang lengan yang memeluknya dari belakang tidak membuat kedua lututnya tiba-tiba melemah.

"Iya, tentu saja..."

Sekali lagi, Woojin berhasil mencuri denyut napas pasangannya sedikit lebih cepat dari yang bisa Jihoon bayangkan; kecupan di pipi sampai puncak kepala. Ritual pagi bahkan sebelum matahari menampakkan diri.

(Namun, siapa tahu bahwa satu hari itu, di mana Jihoon begitu merasa bersalah telah tanpa sengaja meninggalkan ponsel di rumah, tak sempat mengabari Woojin bahwa malam itu ia akan pulang sedikit lebih larut.)

.

.

.

.

۰۪۫W۪۫۰۰۪۫i۪۫۰۰۪۫n۪۫۰۰۪۫k۪۫۰۰۪۫y۪۫۰ ۰۪۫B۪۫۰۰۪۫i۪۫۰۰۪۫r۪۫۰۰۪۫d۪۫۰ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang