08. Powerless

640 63 0
                                    

Fiksi oleh HaLa

°°°

Sebuah pukulan kembali mendarat di punggung, kali ini dengan gagang sapu. Setelah sebelumnya sebuah tamparan keras menghantam pipi.

Rizal, putra sulungku yang baru duduk di kelas satu SMP itu mengaduh dengan suara tercekat. Tubuhnya yang ringkih kurang gizi menghempas lantai tanah. Ia terisak.
"Ampun, Pak! Ampuuunn!" teriaknya.

Mas Sutar, suamiku, masih saja kesetenan. Rizal sudah meminta ampun, tapi tetap saja ia masih memukul.
"Dasar anak nggak berguna! Datang-datang langsung minta uang untuk bayar buku. Kamu pikir uang gampang dicari!" teriaknya.
"Sudah dibilangin, nggak usah sekolah! Kamu tuh sudah waktunya kerja, bantu nyari duit!"

Rizal terus terisak. Tak menjawab.

"Hari ini kamu nggak boleh makan!" Sumpah serapah ia keluarkan.
"Awas ya. Kalo kamu sampai ngasih dia makan, besok-besok lagi kamu nggak kukasih uang." Kali ini ia mengancamku, sebelum akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan rumah dengan sepeda motor butut yang biasa ia gunakan untuk mengangkut kayu.

Air mataku tak berhenti mengalir. Sambil memeluk bayiku di gendongan, aku beranjak mendekati Rizal. Memeluknya dengan hati pilu, tanpa mampu berbuat apa-apa.

Padahal ia hanya minta uang 15 ribu untuk bayar buku LKS. Tapi seperti biasa, jika dimintai uang, Mas Sutar selalu kalap dan marah-marah.

***

Bapaknya Rizal meninggal karena kecelakaan, sekitar tiga tahun lalu. Sebagai janda miskin tanpa keahlian, aku menemui banyak kesulitan untuk menyambung hidup.
Sampai akhirnya lamaran dari pemuda kampung sebelah bernama Mas Sutar kuterima dengan harapan ada yang menopang hidupku dan membantu bersama-sama membesarkan Rizal. Nyatanya, itu semua hanya angan-angan.

Perangai Mas Sutar jauh dari yang kuharapkan. Sebagai petani di ladang, Ia memang pekerja keras. Tapi ternyata, ia suami yang ringan tangan.
Setiap kali dimintai uang belanja, ia akan marah-marah. Selalu mengatakan bahwa hanya ia yang banting tulang mencari nafkah, dan itu tidak mudah.
Sering ia hanya memberiku sepuluh ribu untuk sehari. Kalau makanan kurang, ia hanya memberi jatah makan anak sulung sekali sehari. Setiap kali aku memberinya makan secara sembunyi-sembunyi, Mas Sutar akan memukulnya, dan juga memukulku.

Rizal bahkan sering disuruh bolos sekolah untuk diajak ke ladang. Setiap kali anak itu menolak, lagi-lagi pukulan akan ia terima.

***

"Tanaman di ladang waktunya dipupuk. Daripada bayar orang, ayo kita kerjakan sendiri aja. Lebih hemat."
Mas Sutar berujar, pagi-pagi sekali. Rizal yang sudah mengenakan seragam sekolah mengangguk patuh. Ia berbalik ke kamar, berganti baju.

"Kamu juga ikut. Ke ladang." Kali ini Mas Sutar berkata padaku.

"Terus anak kita?" tanyaku sambil menatap bayiku yang tertidur pulas. Buah hatiku dengan Mas Sutar.

"Ya dibawalah."

"Tapi Mas, dia baru dua bulan," bantahku.

"Ya digendong lah. Nggak usah manja." Mas Sutar mulai terdengar emosi.

Aku merasakan mataku memanas. Karena takut jika Mas Sutar kalap, akhirnya aku beranjak. Meraih bayi merah itu ke gendongan. Mendekapnya dengan air mata nyaris tumpah, lalu mengikuti perintah Mas Sutar.

Berjalan melintasi bukit, dengan Rizal di sisiku dan bayi di gendongan, air mataku berjatuhan.
Sungguh, aku benar-benar tak berdaya.

***

Selesai

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now