13. Curhat Pada Suami Orang

575 62 1
                                    

Curhat pada Suami Orang

°°°

Notifikasi pesan WhatsApp berupa popup muncul di layar. Dan sebuah nama pengirim terbaca di sana. Anti.

"Pah, ada pesen baru nih," teriakku.

Mas Dedi yang tengah berada di ruang tengah menyahut, "Dari siapa?"

"Mbak Anti."

"Baca aja isinya apa. Lagi nanggung, nih." Pria yang tengah memperbaiki mainan Si Boy itu menjawab.

Aku mendesah jengkel sembari meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias kamar tidur. Memang tak ada privasi soal ponsel. Aku biasa mengutak-atik ponsel Mas Dedi sesukaku, begitu pula sebaliknya. Tak ada rahasia.

Mengusap layar untuk membaca pesan, sudah kuduga isinya akan begitu. Curhatan sepanjang layar dari atas sampai bawah. Sudah mirip cerbung. Dari Mbak Anti, teman sekantor Mas Dedi.

Aku tak terlalu mengenal Mbak Anti. Kami hanya beberapa kali ketemu pada acara gathering yang diadakan kantor.
Akhir-akhir ini ia memang sering menceritakan masalah pribadinya pada Mas Dedi. Tentang pernikahannya yang di ambang perceraian. Suaminya ingin menikah lagi dan ia tak mengijinkan. Lalu mereka mulai sering ribut.

Iba sih dengan kisah pribadinya. Cuma terkadang aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia menceritakan begitu gamblang tentang masalah pribadinya pada lelaki yang sudah menikah. Apa ia begitu miskin teman perempuan? Sampai-sampai tak menemukan tempat untuk berbagi kisah?

Kadang aku gemas, ingin mengobrol dengannya secara pribadi agar ia bisa beralih tempat curhat padaku. Tapi, rasa-rasanya kok tidak sopan mengingat kami tak begitu kenal akrab. Takut dikata terlalu ikut campur.

Selain itu, Mas Dedi pun melarang dengan bilang, "Jangan. Nggak enak kalo tiba-tiba Mamah mengajaknya curhat. Toh, kalian nggak terlalu akrab. Selama ini cuma Papah yang dipercaya, biar aja. Barangkali memang inilah cara Papah membantu. Menjadi pendengar yang baik."

Selalu begitu.
Menyebalkan. 

"Kesimpulannya, dia mau cerai. Titik. Nih," ucapku sembari menyodorkan ponsel tersebut ke arah Mas Dedi.

"Hah? Masa?" Mas Dedi buru-buru bangkit lalu meraih ponsel dari tanganku. Menatap layar, ia beranjak duduk di sofa. Terlihat ia menatap layar lagi, lalu mulai mengetik sesuatu.

Aku menatap pemandangan tersebut dengan raut masam.

"Gitu terossss ...." sindirku.

Mas Dedi menatapku sekilas, lalu kembali ke arah layar.
"Jangan gitu, Mah. Papah ini cuma kasihan, iba. Anak-anaknya masih kecil, lho. Ya, aku sih berharapnya mereka rukun-rukun terus."

"Hati-hati, iba bisa jadi cinta lho," ucapku.

Mas Dedi terkekeh, "Apaan, sih."

"Lho, banyak kasus kan begitu. Dimulai dengan curhat, lalu iba, meminjamkan pundak untuk bersandar dan ... akhirnya cinta di depan mata."

"Gak gitu juga kali, Mah. Ini beneran hubungan pertemanan, kok. Dia nggak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan untuk berbagi cerita. Keluarga besarnya ada di kota lain. Dia sendirian."

"Nggak punya teman perempuan yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita?"

Mas Dedi menggeleng.

"Tapi kan nggak harus curhat ke suami orang. Gak sopan itu."

Dan akhirnya malah kami yang bertengkar.

"Mah, please, deh."

"Sebagai istri aku keberatan, Pah. Bukan hanya soal ketakutan akan hadirnya pihak ketiga, tapi ini juga termasuk adab. Rasanya nggak pas gitu. Apalagi membayangkan perempuan itu menumpahkan cerita dan air mata pada Papah, aku sakit hati."

Dan akhirnya emosiku tumpah.
"Pokoknya kalau sampai Papah kebablasan, aku nyerah."

Mas Dedi tercengang.

"Ribut ala mulut tong sampah bukan levelku, Pah. Kalau ternyata suatu saat tiba-tiba saja Papah tergoda dengannya, I'll let you go. Penggoda dan pengkhianat, cocok."

Aku beranjak. Meninggalkan Mas Dedi yang tercenung sendiri.

Dalam hati aku tak lelah merapal doa, kuatkan iman suamiku, Ya Alloh.

°°°

Selesai.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now