[Mbak, perkenalkan saya Nia, istri Mas Aldy. Mohon untuk tidak sering-sering curhat masalah pribadi pada suami saya ya, Mbak. Saya keberatan.]
Setelah sekian lama menahan diri, akhirnya pesan WA itu kukirimkan juga ke kontak baru bernama Lina.
Lina dan Mas Aldy rekan kerja.
Aku tak terlalu mengenal Mbak Lina. Kami hanya beberapa kali ketemu pada acara gathering yang diadakan kantor.Akhir-akhir ini ia memang sering menceritakan masalah pribadinya pada Mas Aldy. Tentang pernikahannya yang di ambang perceraian. Suaminya ingin menikah lagi dan ia tak mengijinkan. Lalu mereka mulai sering ribut.
Sebenarnya aku iba. Cuma terkadang aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia menceritakan begitu gamblang tentang masalah pribadinya pada lelaki yang sudah menikah. Apa ia begitu miskin teman perempuan? Sampai-sampai tak menemukan tempat untuk berbagi kisah?
[Lha terus?]
Aku ternganga membaca balasan Mbak Lina. Kok ... nyolot?
[Saya terganggu, Mbak. Kalau Mbak memang butuh teman curhat, teman mengobrol, sama saya saja, Mbak. Kita sesama perempuan, saya pasti bisa memahami perasaan Mbak Lina.] Aku membalas.
[Nggak usah sok kenal. Kita nggak dekat, gimana bisa aku curhat masalahku sama kamu.]
Lagi-lagi aku ternganga membaca jawabannya. Darah rasanya sudah sampai ubun-ubun menahan amarah.
[Mas Aldy aja nggak keberatan dengerin ceritaku kok, ngapain kamu protes? Jangan lancang wa nomorku lagi. Dasar perempuan nggak sopan!]
Ketika kubalas, centang satu. Aku diblokir.
Menatap layar berisi chat dengan Mbak Lina, aku mengeram.
Jangan salahkan aku kalau besok kamu MUNTAH PAKU!
°°°
Selesai
